Melacak “Akar” Ideologi Gerakan
Mahasiswa Islam Indonesia
Keywords: ideologi,
teologi, politik, gerakan, mahasiswa Islam
PENDAHULUAN
Keberadaan gerakan mahasiswa dalam
konstelasi sosial politik di negeri ini tak bisa dipandang sebelah mata.
Diakui atau tidak, keberadaan mereka menjadi salah satu kekuatan yang selalu
dipertimbangkan oleh berbagai kelompok kepentingan (interest group) terutama
pengambil kebijakan, yakni negara. Diantara elemen-elemen gerakan mahasiswa
yang memiliki pengaruh signifikan adalah gerakan mahasiswa Islam. Mereka adalah
organisasi massa (ormas) mahasiswa yang memiliki basis konstituen yang jelas
dan massa pendukung yang besar seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Dipo, HMI
MPO, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
(IMM) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).
Pada sisi lain, tak bisa dipungkiri
bahwa gerakan mahasiswa mengalami polarisasi dalam entitas dan
kelompok-kelompok tertentu yang berbeda, bahkan acapkali bertentangan satu sama
lain. Hal ini terjadi karena beberapa faktor yang melingkupinya, seperti
perbedaan ideologi, strategi dan lainnya.
Dalam konteks ini, upaya memahami
ideologi gerakan mahasiswa merupakan hal yang sangat penting. Apabila
ditelisik, persoalan ideologi merupakan pusat kajian ilmu sosial. Namun hingga kini,
kajian tentang ideologi khususnya dalam ranah ilmu-ilmu sosial sangat minim.
Apalagi ideologi dalam konsteks gerakan mahasiswa. Maka, permasalahan
yang akan dikaji selanjutnya adalah apa dan bagaimanakah ideologi gerakan
mahasiswa Islam di Indonesia?
Ideologi Dalam
Keterbatasan Akar Konseptual
Menurut Frans Magnis Suseno, ideologi dimaksud
sebagai keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah
sebuah gerakan, kelompok sosial atau individu. Ideologi dapat dimengerti
sebagai suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial, sejarahnya
dan proyeksinya ke masa depan serta merasionalisasikan suatu bentuk hubungan
kekuasaaan. Dengan demikian, ideologi memiliki fungsi mempolakan,
mengkonsolidasikan dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat.
Ideologi yang dianutlah yang pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana
seseorang atau sekelompok orang memandang sebuah persoalan dan harus berbuat
apa untuk mensikapi persoalan tersebut. Dalam konteks inilah kajian
ideologi menjadi sangat penting, namun seringkali diabaikan.
Istilah ideologi adalah istilah yang
seringkali dipergunakan terutama dalam ilmu-ilmu sosial, akan tetapi juga
istilah yang sangat tidak jelas. Banyak para ahli yang melihat
ketidakjelasan ini berawal dari rumitnya konsep ideologi itu sendiri.
Ideologi dalam pengertian yang paling umum dan paling dangkal biasanya
diartikan sebagai istilah mengenai sistem nilai, ide, moralitas, interpretasi
dunia dan lainnya.
Menurut Antonio Gramsci, ideologi lebih dari
sekedar sistem ide. Bagi Gramsci, ideologi secara historis memiliki
keabsahan yang bersifat psikologis. Artinya ideologi ‘mengatur’ manusia dan
memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan
posisi mereka, perjuangan mereka dan sebagainya.
Secara sederhana, Franz Magnis Suseno mengemukakan tiga
kategorisasi ideologi. Pertama, ideologi dalam arti penuh atau disebut
juga ideologi tertutup. Ideologi dalam arti penuh berisi teori tentang hakekat
realitas seluruhnya, yaitu merupakan sebuah teori metafisika. Kemudian selanjutnya
berisi teori tentang makna sejarah yang memuat tujuan dan norma-norma politik
sosial tentang bagaimana suatu masyarakat harus di tata. Ideologi dalam
arti penuh melegitimasi monopoli elit penguasa di atas masyarakat, isinya tidak
boleh dipertanyakan lagi, bersifat dogmatis dan apriori dalam arti ideologi itu
tidak dapat dikembangkan berdasarkan pengalaman. Salah satu ciri khas
ideologi semacam ini adalah klaim atas kebenaran yang tidak boleh diragukan
dengan hak menuntut adanya ketaatan mutlak tanpa reserve. Dalam kaitan
ini Franz Magnis-Suseno mencontohkan ideologi Marxisme-Leninisme.
Kedua, ideologi dalam arti
terbuka. Artinya ideologi yang menyuguhkan kerangka orientasi dasar,
sedangkan dalam operasional keseharianya akan selalu berkembang disesuaikan
dengan norma, prinsip moral dan cita-cita masyarakat. Operasionalisasi
dalam praktek kehidupan masyarakat tidak dapat ditentukan secara apriori
melainkan harus disepakati secara demokratis sebagai bentuk cita-cita
bersama. Dengan demikian ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak
totaliter dan tidak dapat dipakai untuk melegitimasi kekuasaan sekelompok
orang.
Ketiga, Ideologi dalam arti implisit
atau tersirat. Ideologi semacam ini ditemukan dalam keyakinan-keyakinan
masyarakat tradisional tentang hakekat realitas dan bagaimana manusia harus
hidup didalamnya. Meskipun keyakinan itu hanya implisit saja, tidak dirumuskan
dan tidak diajarkan namun cita-cita dan keyakinan itu sering berdimensi
ideologis, karena mendukung tatanan sosial yang ada dan melegitimasi struktur
non demokratis tertentu seperti kekuasaan suatu kelas sosial terhadap kelas
sosial yang lain.
Dari beberapa fungsi tersebut, terlihat
bahwa pengaruh ideologi terhadap perilaku kehidupan sosial berkaitan
erat. Memahami format sosial politik suatu masyarakat akan sulit
dilakukan tanpa lebih dahulu memahami ideologi yang ada dalam masyarakat
tersebut. Dari sinilah terlihat betapa ideologi merupakan perangkat
mendasar dan merupakan salah satu unsur yang akan mewarnai aktivitas sosial dan
politik.
Sepintas Gerakan Mahasiswa Islam di Indonesia
Dalam sejarah perjalanan bangsa pasca kemerdekaan
Indonesia, mahasiswa merupakan salah satu kekuatan pelopor di setiap
perubahan. Tumbangnya Orde Lama tahun 1966, Peristiwa Lima Belas
Januari (MALARI) tahun 1974, dan terakhir pada runtuhnya Orde baru tahun 1998
adalah tonggak sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Sepanjang itu pula
mahasiswa telah berhasil mengambil peran yang signifikan dengan terus
menggelorakan energi “perlawanan” dan bersikap kritis membela kebenaran dan
keadilan.
Menurut Arbi Sanit, ada lima sebab yang
menjadikan mahasiswa peka dengan permasalahan kemasyarakatan sehingga mendorong
mereka untuk melakukan perubahan. Pertama, sebagai kelompok masyarakat
yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai pandangan luas untuk
dapat bergerak di antara semua lapisan masyarakat. Kedua, sebagai
kelompok masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, mahasiswa telah
mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara angkatan muda.
Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik melalui akulturasi sosial
budaya yang tinggi diantara mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan
yang akan memasuki lapisan atas susunan kekuasaan, struktur ekonomi, dan akan
memiliki kelebihan tertentu dalam masyarakat, dengan kata lain adalah kelompok
elit di kalangan kaum muda. Kelima, seringnya mahasiswa terlibat dalam
pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah masyarakat,
memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya ke jenjang
karier.
Disamping itu ada dua bentuk
sumber daya yang dimiliki mahasiswa dan dijadikan energi pendorong gerakan
mereka. Pertama, ialah Ilmu pengetahuan yang diperoleh baik melalui mimbar
akademis atau melalui kelompok-kelompok diskusi dan kajian. Kedua, sikap
idealisme yang lazim menjadi ciri khas mahasiswa. Kedua
potensi sumber daya tersebut ‘digodok’ tidak hanya melalui kegiatan akademis
didalam kampus, tetapi juga lewat organisasi-organisasi ekstra universitas yang
banyak terdapat di hampir semua perguruan tinggi.
Di Indonesia terdapat lima
organisasi mahasiswa ekstra universitas atau sering dinamakan ormas mahasiswa,
yang cukup menonjol, yaitu HMI Dipo (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), HMI MPO
(Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi) dan KAMMI (Kesatuan
Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Kesemuanya menarik untuk dikaji karena
sama-sama membawa label Islam sebagai identitas organisasinya, namun memiliki
corak wacana dan strategi perjuangan yang khas. Berikut sekilas
perjalanan dari ormas mahasiswa Islam tersebut:
1. Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) Dipo
HMI lahir ditengah-tengah suasana revolusi untuk mempertahankan
kemerdekaan, yaitu pada 5 Februari 1947 di kota Yogyakarta. Lafran Pane dan
kawan-kawan merasa prihatin dengan kondisi umat Islam saat itu yang
terpecah-pecah dalam berbagai aliran keagamaan dan politik serta jurang
kemiskinan dan kebodohan. Oleh karena itu dibutuhkan langkah-langkah
strategis untuk mengambil peranan dalam berbagai aspek kehidupan.
Kemudian didirikanlah wadah perkumpulan mahasiswa Islam yang memiliki potensi
besar bagi terbinanya insan akademik, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam
dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi
Allah.
Dalam perjalanannya,
HMI telah banyak melahirkan kader-kader pemimpin bangsa. Hampir di
sepanjang pemerintahan Orde Baru selalu ada mantan kader HMI yang duduk di
kabinet. Hal ini tentunya tidak lepas dari peran signifikan HMI dalam
keikutsertannya menumbangkan Orde Lama serta menegakkan Orde Baru. Selain
itu, sebagai ormas mahasiswa Islam yang independen dan bergerak dijalur intelektual,
tidak jarang HMI melahirkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam kontemporer di
Indonesia. Beberapa kader HMI bahkan sering melontarkan wacana pemikiran
Islam yang mengundang kontroversi. Misalnya saja wacana sekulerisasi
agama yang diungkapkan Nurcholish Madjid melalui slogannya yang terkenal “Islam
Yes, Partai Islam No!.”
2. Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia pada tanggal
17 April 1960 di Surabaya mendirikan sebuah organisasi sebagai wadah pergerakan
angkatan mudanya dari kalangan mahasiswa yakni Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII). Pada perkembangannya di awal tahun 1970-an PMII secara
struktural menyatakan diri sebagai organisasi independen, terlepas dari ormas apa
pun, termasuk dari sang induknya, NU. Pada masa pergerakan mahasiswa 1998,
menjelang peristiwa jatuhnya Soeharto, PMII bersama kaum muda NU lainnya telah
bergabung dengan elemen gerakan mahasiswa untuk mendukung digelarnya people’s
power dalam menumbangkan rezim Soeharto. Sikap ini telah jauh mendahului
sikap resmi kiai senior NU yang lebih konservatif yakni senantiasa menjaga
kedekatan dengan pusat kekuasaan untuk membela kepentingan pesantren. Di
jalur intelektual PMII banyak mengembangkan dan mengapresiasikan
gagasan-gagasan baru, misalnya mengenai hak asasi manusia, gender, demokrasi
dan lingkungan hidup.
3. Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
Ketika situasi nasional mengarah pada demokrasi terpimpin yang penuh
gejolak politik di tahun 1960-an, dan perkembangan dunia kemahasiswaan yang
terkotak-kotak dalam bingkai politik dengan meninggalkan arah pembinaan
intelektual, beberapa tokoh angkatan muda Muhammadiyah seperti Muhammad Djaman
Alkirdi, Rosyad Soleh, Amin Rais dan kawan-kawan memelopori berdirinya Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Yogyakarta pada tanggal 14 Maret 1964.
Sebagai organisasi
otonom (ortom) Muhammadiyah sifat dan gerakan IMM sama dengan Muhammadiyah
yakni sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar. Ide dasar gerakan
IMM adalah; Pertama, Vision, yakni membangun tradisi intelektual dan wacana
pemikiran melalui intelectual enlightement (pencerahan intelektual) dan
intelectual enrichment (pengkayaan intelektual). Strategi pendekatan yang
digunakan IMM ialah melalui pemaksimalan potensi kesadaran dan penyadaran
individu yang memungkinkan terciptanya komunitas ilmiah.
Kedua, Value, ialah
usaha untuk mempertajam hati nurani melalui penanaman nilai-nilai moral agama
sehingga terbangun pemikiran dan konseptual yang mendapatkan pembenaran dari Al
Qur’an. Ketiga, Courage atau keberanian dalam melakukan aktualisasi
program, misalnya dalam melakukan advokasi terhadap permasalahan masyarakat dan
keberpihakan ikatan dalam pemberdayaan umat
4. Himpunan
Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO)
Kebijakan pemerintah memberlakukan asas tunggal Pancasila sebagai
satu-satunya dasar ormas mendapat tantangan yang cukup beragam dari kalangan
umat Islam. Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO)
sebagai organisasi pecahan/faksi dari HMI yang disebutkan sebelumnya, terlahir
akibat konflik berkepanjangan dalam menyikapi penerimaan asas tunggal
tersebut. PB (Pengurus Besar) HMI melalui jumpa pers pada 10 April 1985
di Yogyakarta mengumumkan tentang penerimaan asas Pancasila oleh HMI.
Sikap ini dinilai sebagian cabang seperti Yogyakarta, Jakarta, Bandung,
Ujungpandang, Purwokerto sebagai kesalahan besar PB HMI karena tidak melalui
forum kongres. Konflik tersebut berujung pada munculnya perlawanan dari
cabang-cabang yang kemudian melahirkan HMI MPO pada 15 Maret 1986 di Jakarta,
sebagaimana tercantum dalam buku Berkas Putih yang terbit 10 Agustus 1986
Setelah beberapa tahun HMI MPO lebih banyak melakukan aktifitas gerakannya secara
sembunyi-sembunyi, pada tahun 1990-an ketika pemerintah mulai menjalin hubungan
baik dengan Islam, HMI MPO mulai nampak kembali kepermukaan. Di beberapa
daerah yang merupakan basis HMI MPO seperti Yogyakarta, Bandung, Ujungpandang
dan Purwokerto kader-kader mereka cenderung radikal dan lebih militan.
Pada kenyataannya represi negara justeru membuat HMI MPO menjadi lebih matang
dan kuat.
HMI MPO sendiri sedikit mengalami pergeseran, jika pada awalnya gerakan mereka
cenderung fundamentalis dan eksklusif. Pada akhirnya mereka mulai terbuka
dengan memperluas cakrawala pengetahuan sehingga mampu menyesuaikan diri dengan
perubahan. Tidak heran jika banyak yang menilai HMI MPO sebagai
organisasi Islam yang lebih modernis saat ini.
5.
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
KAMMI
terbentuk dalam rangkaian acara FS LDK (Forum Sillaturahmi Lembaga Da’wah
Kampus) Nasional X di Universitas Muhammadiyah Malang tanggal 25-29 Maret
1998. Setidaknya ada dua alasan terbentuknya KAMMI, pertama, sebagai
ekspresi keprihatian mendalam dan tanggung jawab moral atas krisis dan
penderitaan rakyat yang melanda Indonesia serta itikad baik untuk berperan
aktif dalam proses perubahan. Kedua, untuk membangun kekuatan yang dapat
berfungsi sebagai peace power untuk melakukan tekanan moral kepada pemerintah.
Selanjutnya bersama elemen gerakan mahasiswa lainnya, KAMMI melakukan
tekanan terhadap pemerintahan Orde Baru melalui gerakan massa. Dalam
pandangan KAMMI, krisis yang terjadi saat itu adalah menjadi tanggung jawab
pemimpin dan pemerintah Indonesia sebagai pengemban amanah rakyat. Karena
itu untuk memulai proses perubahan tersebut mesti diawali dengan adanya
pergantian kekuasaan. Rezim Orde Baru dengan segala macam kebobrokannya,
harus diganti dengan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Setelah tidak kuat menahan desakan rakyat, akhirnya Soeharto dengan terpaksa
meletakkan jabatannya. Namun bagi KAMMI, proses reformasi di Indonesia
belumlah selesai, masih membutuhkan proses yang panjang. Lewat Muktamar
Nasional KAMMI yang pertama, 1-4 Oktober 1998, KAMMI memutuskan diri berubah
dari organ gerakan menjadi ormas mahasiswa Islam. Peran utamanya adalah
untuk menjadi pelopor, pemercepat dan perekat gerakan pro-reformasi.
Mahasiswa Islam dalam Pergulatan Teologis
Sejak awal berdirinya, sebagian ormas mahasiswa Islam ada
yang terlahir dari kelompok sosial keagamaan dengan identitas yang jelas.
Misalnya saja IMM yang terang-terangan mengusung nama Muhammadiyah, dan PMII
meski secara struktural independen, namun masih memiliki ikatan kultural yang
erat dengan NU. Sedangkan ormas mahasiswa Islam yang lain, HMI Dipo, HMI
MPO dan KAMMI, tidak secara jelas membawa identitas kelompok keagamaan
tertentu, malah mereka cenderung menjadi kelompok keagamaan tersendiri.
Dari sini kemudian berkembanglah corak wacana dan strategi perjuangan yang
berbeda-beda. Perbedaan ini muncul akibat beragamnya metode pendekatan
teologis, sebagai basis ideologi yang mereka bangun.
Kebebasan berpikir yang telah menjadi
kultur sehari-hari di dunia akademis, telah mengundang sebagian besar mahasiswa
Islam untuk merumuskan kembali paradigma teologi yang telah ada. Hampir
semua sepakat bahwa paradigma teologi umat Islam saat ini merupakan hasil
formulasi ulama klasik. Meski mengalami pembaharuan beberapa kali, tapi
tidak banyak perubahan mendasar dalam paradigma teologi itu. Terlebih
lagi tuntutan perubahan mengharuskan umat Islam menyusun kembali paradigma yang
baru.
Pemikiran teologi dalam masyarakat Islam
bersumber dari ajaran aqidah yang dijelaskan dalam Al Qur’an dengan inti
kepercayaan pengesaan Tuhan (tauhid) dan pengakuan atas kerasulan Muhammmad
(Muhammad Rasulullah). Pemikiran teologi tentang Allah merupakan sebuah
keyakinan terhadap adanya realitas transedental yang tunggal dan menuntut
adanya aplikasi ketaatan pada tataran aksi. Oleh karenanya wujud nyata
dari perilaku dan kepribadian umat Islam merupakan cerminan yang tidak dapat
dipisahkan dari landasan teologisnya.
Dalam melakukan telaah keagamaan,
mahasiswa Islam mengadopsi beberapa pemikir-pemikir Islam kontemporer, baik
tokoh pemikiran Islam di Indonesia seperti Abdurrahman Wahid, Amien Rais,
Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat dan lainnya, sampai tokoh dunia Islam
yang cukup berpengaruh saat ini, diantaranya Hassan Hanafi, Mohammad Arkoun,
Yusuf Qardlawi, M. Abed Aljabiri, Fazlur Rahman dan masih banyak
lagi. Ketajaman analisis dan disiplin dalam mempergunakan metode, membuat
para tokoh tersebut dikagumi banyak kalangan mahasiswa Islam. Sampai
kemudian pemikiran mereka menjadi referensi utama bagi gerakan mahasiswa Islam,
bahkan tidak jarang dikritisi dan dianalisis secara mendalam.
Di Indonesia sendiri, Fachry Ali dan Bahtiar Effendy menyatakan tentang
tipologi gerakan intelektualisme Islam neo-modernisme. Gerakan pemikiran
neo-modernisme merupakan gerakan pemikiran Islam yang muncul di Indonesia
sekitar tahun 1970-an. Gerakan ini lahir dari tradisi modernisme Islam yang
terdahulu dan telah cukup mapan di Indonesia. Akan tetapi ia memakai
pendekatan yang lebih khas dari sisi konsepsi maupun aplikasi ide-ide.
Nurcholish Madjid merupakan tokoh gerakan intelektual ini. Dengan
cerdas ia memadukan cita-cita liberal dan progresif dengan keimanan yang
saleh. Melalui konsep rasionalitas, Cak Nur, sapaan akrabnya, menyatakan
arti pentingnya untuk menelusuri dan memahami pengetahuan manusia yang relatif
dan terbatas. Hal ini menyangkut persoalan hubungan kedudukan antara
agama dan akal yang telah lama menjadi bahan perdebatan para teolog sejak
dulu. Karena pengetahuan manusia yang terbatas itulah maka kebenaran yang
bersifat mutlak tidak dapat dicapai oleh manusia.
Selanjutnya Cak Nur menawarkan satu bentuk teologi inklusif, dimana inti
ketajaman teologi ini adalah kesadaran teologis yang mensyaratkan adanya ruang
kebebasan berpikir sebagai wujud komitmen ketauhidan seseorang. Ruang
kebebasan inilah yang menjadi substansi bagi pembaharuan dan kemajuan dalam
Islam. Sikap keterbukaan untuk mau menerima kebenaran dan
perbedaan dari orang lain.
HMI Dipo telah menjadikan pemikiran neo-modernisme ini sebagai referensi
utama bagi pemahaman teologinya. Lewat pemikiran-pemikiran Cak Nur yang
juga mantan ketua PB HMI inilah konsep Islam Keindonesiaan ditawarkan oleh
kader-kader HMI.
Lain halnya dengan PMII, ormas mahasiswa Islam ini lebih mengembangkan
teologi yang lebih radikal bila dipandang oleh sebagian besar umat Islam pada
umumnya. Pada mulanya PMII memakai doktrin teologi Aswaja (ahlussunnah
wal jama’ah) sebagi doktrin resmi yang dipakai NU dan masyarakat Islam
Indonesia pada umumnya. Doktrin teologi Aswaja lebih banyak berbicara
mengenai takdir manusia yang telah ditentukan Allah, dan kedudukan manusia
sebagai makhluk. Namun akhir-akhir ini tradisi kritik yang berkembang di PMII
tidak hanya menggugat kemapanan (status quo) struktur sosial, ekonomi dan
politik yang ada, tapi termasuk doktrin teologi Aswaja. PMII dengan berani menggulirkan perlunya
pembacaan kembali konsep Aswaja tersebut
Dewasa ini terdapat loncatan perubahan yang cukup menyolok dikalangan
kader-kader PMII. Sebagai angkatan muda NU, mereka sebagian besar berasal
dari kalangan tradisional, kelompok masyarakat yang sering diidentikkan dengan
konservatifisme sosial lewat apresiasi yang rendah terhadap hal-hal baru.
Mereka juga dikenal dengan keterbelakangan kultural karena orientasi
hidup mereka dipercayai hanya sebatas penerapan dan pemeliharaan nilai-nilai
lama yang teguh dipegangi dan diyakini. Pandangan ini mulai bergeser
ketika PMII kini memiliki pandangan intelektual yang lebih terbuka, peka dan
peduli terhadap masalah keagamaan dan kehidupan sosial. Konsekuensi dari
keterbukaan ini bagi PMII adalah sikap menerima perbedaan, akomodatif, dan
toleran.
Tradisi berpikir kritis terhadap segala
macam bentuk kemapanan yang ada, telah membawa PMII untuk melakukan kajian
terhadap kondisi kehidupan sosial, termasuk kebekuan-kebekuan yang dialami
agama. Doktrin-doktrin ajaran agama saat ini, menurut PMII,
sudah tidak relevan lagi dengan perubahan jaman. Karena ajaran agama yang
ada telah tercerabut dari keaslian akar tradisi masyarakat. Ajaran agama
tidak tertanam dalam kesadaran masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan
tafsir ulang terhadap doktrin-doktrin ajaran agama, bahkan sampai
keakar-akarnya yaitu dimensi teologis.
Pada tataran teologis PMII lebih
memandang bahwa semua agama akan bermuara pada satu titik yang sama yakni
Tuhan. Terdapatnya agama-agama yang berbeda merupakan suatu bentuk
keanekaragaman jalan atau cara yang mengandung makna kebenarannya sendiri-sendiri,
dan keanekaragaman ini merupakan fitrah yang dikehendaki Tuhan. Yang
terpenting bagi agama saat ini adalah harus membawa kemanfaatan nyata
bagi kesejahteraan manusia.
Ahmad Baso, salah seorang senior di PB
PMII mengungkapkan suatu gagasan mengenai kritik wacana agama. Kritik
agama Baso adalah Islam sebagai sistem kultur dan ideologi. Titik
perhatiannya diarahkan pada kritik nalar atau cara-cara berpikir yang
secara sistemik membentuk pola pikir penganutnya secara sadar maupun tidak
sadar. Lebih lanjut Baso mencontohkan kebekuan tradisi pembaharuan dalam
pemikiran tokoh-tokohnya, baik itu pada diri Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo,
maupun dalam pemikiran Abdurrahman Wahid. Makna “Islam Liberal” dalam
pemikiran Nurcholish Madjid, hanya berhenti pada tingkat wacana. Gagasan
tersebut tidak bisa diterjemahkan secara praksis dalam kehidupan umat di
lapisan bawah.
Berbeda lagi dengan IMM, ormas mahasiswa
Islam yang satu ini tidak bisa lepas begitu saja dari pengaruh kultur yang ada
di Muhammadiyah. Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan, tentu
saja tidak bisa lepas dari agama sebagai landasan teologis dalam berpikir,
bertindak dan berinovasi. Aspek teologis ini penting karena dari sinilah
Muhammadiyah melancarkan purifikasi agama atau pemurnian tauhid dari segala
bentuk praktek keagamaan yang berbau takhayyul, bid’ah dan khurafat.
Dengan langkah ini sebenarnya Muhammadiyah ingin melangkah ke arah
praksis, yaitu memperbaharui pola pikir umat yang lebih “membumi”, tidak mistis
dan metafisis semata
Pada konteks historis, dulu pemahaman
teologis semacam ini sangat hidup dan dinamis di Muhammadiyah, sehingga
seringkali “gebrakan kultural” yang dilakukan Muhammadiyah cukup
mengesankan. Namun saat ini, citra Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan
dan Islam modernis telah memberikan “kepuasan” tersendiri yang secara tidak
disadari telah “memanjakan” Muhammadiyah dalam kemapanan wacana
keagamaannya. Azyumardi Azrah mengkritik
pemahaman keagamaan Muhammadiyah yang monolistik (salafiyah). Padahal
kecenderungan keagamaan masyarakat semakin pluralistik. Menurut Azra,
selama ini Ulama Muhammadiyah hanya dialokasikan di tempat periferal dan
marginal, yaitu di Majelis Tarjih, yang hanya menekuni dan menjawab persoalan-persoalan
teknis hukum Islam (fiqhiyyah) untuk merespons perkembangan modern. Kalaupun
ada di kalangan Muhammadiyah yang kritis terhadap pemerintah, itu biasanya
muncul dari kalangan santri intelektual. Jarang sekali yang dikenal
sebagai Ulama melakukan fungsi kontrol.
Dengan demikian, Muhammadiyah telah
mengalami kebekuan dalam mengkontruksi wacana teologinya.
Muhammadiyyah terlalu disibukkan dengan aktivitas amal usahanya yang secara
tidak langsung mendorong formalisasi agama.
Kondisi semacam ini berimbas pada IMM
secara langsung. Krisis wacana yang dialami kader-kader IMM kemudian
berakibat pada semakin banyaknya mereka yang menyibukkan diri di amal usaha
Muhammadiyah. Meski begitu, tetap saja ada kelompok minoritas kreatif
yang tekun melakukan rekontruksi wacana teologi serta relevansinya dengan
tantangan umat Islam dan Bangsa Indonesia saat ini. Salah satunya adalah
Fajar Riza Ul Haq kader muda Ketua Pimpinan Cabang IMM Sukoharjo. Fajar
dengan fasih berbicara tentang kelemahan teologi inklusifnya Nurcholish Madjid
yang berhenti pada tataran wacana tidak membumi dalam bentuk praksis
pembebasan. Mengutip Farid Esack, tokoh Islam Afrika Selatan, Fajar menyatakan perlunya
menggeser teologi inklusif kearah teologi pluralis yang liberatif terhadap kaum
tertindas. Bangunan epistimologi teologi pluralis adalah meyakini setiap
agama mempunyai jalan keselamatan sendiri-sendiri, jadi menghargai pluralitas
teologi agama-agama. Sayangnya wacana ini belum berkembang di sebagian
besar pemikir-pemikir Muhammadiyah.
Sedangkan di HMI MPO, sebagaimana telah
sedikit disinggung di awal, ormas mahasiswa Islam ini mengalami pergeseran
cukup drastis. Semula gerakan HMI MPO bersifat eksklusif, konsisten
dengan keislamannya, maka semua aktivitasnya harus diukur dengan parameter
Islam. Namun akhir-akhir ini HMI MPO cenderung terbuka dan menyerahkan
pemahaman teologis terhadap pluralitas anggotanya.
Dari penjelasan tersebut, terlihat tidak
adanya keseragaman pemahanan teologis di HMI MPO. Tidak aneh jika
ekspresi keagamaan dari masing-masing kader nampak berbeda. Ada kader yang
sangat kental dengan nuansa religiusnya, tidak sedikit pula kader yang tampil
lebih moderat, bahkan cenderung ‘liar’ dan semaunya sendiri. Pemandangan
semacam ini mudah dijumpai pada kader-kader HMI MPO.
KAMMI yang dilahirkan oleh para aktivis
Lembaga Dakwah Kampus memiliki corak pergerakan yang khas. Jaringan
mereka sangat luas dan telah ada hampir diseluruh Perguruan Tinggi di
Indonesia. Tidak mengherankan jika pada usia yang masih muda KAMMI di
puji banyak kalangan sebagai ormas mahasiswa Islam tersolid saat ini.
Kehadiran massa dalam jumlah besar di setiap aksinya, memperkuat daya tekan
KAMMI dalam mendukung gerakan reformasi.
Pada tataran teologis KAMMI memiliki
doktrin pemahaman yang cukup kuat bahwa Islam sebagai suatu sistem yang total
(kaffah) merupakan solusi terbaik dalam menjawab tantangan kemanusian.
Bagi KAMMI, Islam tidak hanya berbicara mengenai pribadi individu, tapi Islam
juga mengatur juga tentang hubungan sosial. Karena itu kemenangan Islam
dalam keyakinan KAMMI adalah suatu keniscayaan. Tradisi pendekatan wacana yang
berkembang di KAMMI adalah upaya pencarian keabsahannya gerakannya melalui
teks-teks suci. Hampir di setiap kali muncul wacana pemikiran KAMMI akan
selalu diikuti sumber pembenarannya dari teks Al Qur’an dan Hadits.
Pembacaan terhadap teks-teks suci tersebut telah memberikan semangat juang
(ghiroh) tersendiri bagi KAMMI. Pada akhirnya, kontekstualisasi teks
dengan realitas sosial sekarang mendorong KAMMI berkiprah lebih banyak di
bidang pelayanan sosial, pendidikan politik, dan advokasi umat.
Ekspresi Politik Gerakan Mahasiswa Islam
Untuk mengetahui ekspresi atau sikap gerakan mahasiswa
Islam terhadap kondisi sosial politik yang berlangsung, tidak bisa dilepaskan
dari tesis Clifford Geertz tentang politik aliran. Aliran menurut
Clifford Geertz ditandai oleh beberapa ciri. Pertama, aliran adalah suatu
gerakan sosial yang kemudian mengalami kristalisasi menjadi pengelompokan
politik. Kedua, walaupun suatu aliran didefinisikan secara ideologis,
namun biasanya ia dijiwai oleh cita-cita moral yang lebih luas. Ketiga,
walaupun mengalami kristalisasi menjadi suatu pengelompokan politik, sebuah
aliran biasanya dikelilingi oleh sebuah organisasi sukarela yang terikat
secara resmi maupun tidak resmi dengan pengelompokan politik yang menjadi
pusatnya.
Tipologi Geertz ini kemudian dikembangkan oleh Herbeth Feith dan Lance
Castle yang membagi pemikiran politik Indonesia waktu
itu ke dalam lima golongan: marxisme, Sosialisme Demokrat, Nasionalisme
Radikal, Islam (terdiri dari modernisme Islam dan tradisionalisme Islam) dan
tradisionalisme Jawa. Tipologi ini kemudian berkembang tidak hanya pada
wilayah kultural tetapi juga wilayah politik yaitu mempengaruhi afiliasi
pemilih waktu itu.
Menurut Geertz, afiliasi pemilih juga berdasarkan pada pengelompokan budaya
ini. Kelompok santri kebanyakan berafiliasi ke NU dan Masyumi, abangan
sebagian ke PKI, priyayi lebih banyak berafiliasi ke PNI. Basis aliran
ini kemudian berkembang menjadi ideologi politik aliran yaitu Islam,
nasionalis, komunis dan sosialis meskipun kelompok terakhir jumlahnya sangat
kecil. Pemilu pertama tahun 1955 membuktikan dari sekian banyak partai
yang muncul, empat partai besar sebagai pemenang dan semuanya mengambl tipologi
Geertz sebagai basis ideologi mereka yaitu nasionalis diwakili PNI, Islam
dengan Masyumi dan NU, Komunis dengan PKI dan Sosialis dengan PSI.
Perkembangan pemilu 1999 menunjukkan
gejala yang hampir sama meskipun tidak seratus persen. Bahkan ada
kecenderungan pada sebagian partai untuk menghidupkan fenomena politik tahun
1955. Ada sisi menarik dari dalam hal afiliasi politik yang sifatnya
cenderung ideologis. Suara NU dan PNI tidak mungkin beralih ke partai-
partai yang identik dengan Masyumi (PBB, PK atau PAN) sementara suara Masyumi
juga tidak beralih ke partai-partai yang identik dengan NU, PNI atau PKI (PDI
P, PKB dan PRD). Kecenderungan ideologis ini tidak lepas dari tubuh Islam
yang terbagi dalam dua kutub: modernis dan tradisionalis. NU mewakili
tradisionalis dan Masyumi mewakili kutub modernis.
Dua bentuk pemikiran ini selalu
berbenturan dalam hampir semua hal termasuk dalam bidang syariah. Kutub
tradisionalis mengental dalam organisasi Nahdlotul Ulama, sementara Kutub
modernis diwakili organisasi Muhammadiyah. Muhammadiyah sendiri merupakan
organisasi reformis yang kehadirannya dimaksudkan untuk menjernihkan keyakinan
umat Islam dari berbagai bentuk takhyul, bid’ah dan khufarat. Bagi
Muhammadiyah, keyakinan umat telah banyak terkontaminasi dngan masuknya praktik
peribadatan yang berbau Hindhu-Budha-Jawa. Sementara kelahiran NU salah satu
latar belakangnya adalah untuk menyelamatkan tradisi. Dalam hal ini, NU
merasa keyakinannya dalam menjalankan ibadah terusik dengan hadirnya
Muhammadiyah. Dari sinilah muncul berbagai ketegangan dan bahkan konflik
yang sampai sekarang ada.
Kondisi gerakan mahasiswa Islam saat ini juga terjebak dalam polarisasi dan
fragmentasi yang tidak jauh berbeda dengan politik aliran Geertz, meski dalam
beberapa hal mengalami beberapa metamorfose. Organisasi massa mahasiswa Islam
lahir dengan dipayungi kelompok politik yang dominan waktu itu, atau sebagai
underbow partai. PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) lahir
dari generasi muda NU (Nahdlatul Ulama), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) lahir
dibidani kelompok Islam modernis Masyumi. Selanjutnya, IMM (Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah) yang jelas berasal dari Muhammadiyah. Sementara, keberadaan
KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) pada praktik politik
selanjutnya juga tidak bisa dilepaskan dari PK (Partai Keadilan).
Pada tahap selanjutnya, polarisasi lebih
tajam terlihat pada kalangan Islam modernis yang diwakili HMI Dipo, HMI
MPO, IMM dan KAMMI dengan kalangan Islam tradisionalis yang diwakili
PMII. Hal ini dapat dicermati lebih rinci terutama pada masa
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Beberapa waktu menjelang
lengsernya Gus Dur dan pada awal-awal pemerintahan Megawati, terdapat friksi
antar ormas Islam yang lebih disebabkan karena alasan ideologis. Memang
berkembang berbagai rumor di seputar pro dan kontra turunnya Gus Dur, seperti
permasalahan kesehatan Gus Dur, kapabilitas managerial ataupun
konstitusi. Namun apabila ditelisik mendalam, turunnya Gus Dur
semata terjadi karena konflik ideologis yang sekian lama terpendam.
Meskipun naiknya Gus Dur dengan bantuan
poros tengah yang terdiri dari PPP, PAN, PBB, PK, namun aspirasi dan
kepentingan kelompok poros tengah relatif diabaikan. Apabila ditelurusi,
tentu saja hal ini bukan hal yang baru. NU atau dalam hal ini PKB jelas
tidak mungkin berafiliasi dengan kelompok modernis terutama poros tengah.
NU lebih mudah bergandengan tangan dengan kalangan abangan seperti dengan PDI
P.
Fenomena yang sama juga terjadi pada
ormas mahasiswa Islam. PMII lebih mudah bekerja sama dengan
kelompok kiri dibandingkan dengan ormas Islam lainnya. Hal
seperti ini sering terjadi seperti pada waktu pro kontra penurunan Gus
Dur. PMII bekerja sama dengan ormas kiri seperti PRD, PMKRI untuk
mendukung atau pro Gus Dur tetap menjadi presiden. Sementara, kelompok
yang kontra Gus Dur seperti HMI Dipo, HMI MPO, IMM, dan KAMMI secara serentak,
bersama menuntut Gus Dur mundur. Hal senada juga diungkapkan oleh kelompok
modernis yang lain seperti HMI Dipo, HMI MPO, dan IMM.
Pada dasarnya mereka sama-sama memiliki
keyakinan bahwa kapasitas dan kapabilitas Megawati diragukan. Sedangkan
alasan lainnya adalah asumsi yang selama ini terbukti bahwa kekuasaan itu
cenderung korup, sebagaimana adagium Lord Acton. Sebagai organisasi yang
independen, ormas Islam modernis lebih menitikberatkan perjuangannya pada
kepentingan rakyat karena selama ini rakyat selalu berada dalam posisi yang
tertindas padahal dalam konteks demokrasi, mereka adalah pemegang kekuasaan
tertinggi.
Kesimpulan
Pemahaman terhadap teologi sebagai landasan filosofis
berpengaruh pada tindakan politik sebagaimana tesis sosiologi pengetahuan,
bahwa ada kaitan antara fikiran dan tindakan. Selanjutnya, ideologi yang
dianut oleh gerakan mahasiswa Islam ini terungkap dan diwujudkan lebih jelas
pada ekspresi politik.
Gerakan mahasiswa Islam sebagai realitas
sosial merupakan replika atau miniatur dari kondisi masyarakat Indonesia pada
umumnya. Polarisasi dan friksi yang terjadi pada ormas Islam ternyata
memiliki akar kesejarahan yang cukup panjang. Sampai saat ini, tipologi
Clifford Geertz tentang santri, priyayi dan abangan masih kental pada
masyarakat sekarang.
Ideologi gerakan mahasiswa Islam pada
dasarnya adalah Islam. Namun dalam perkembangan selanjutnya mengalami
metamorfose seiring dengan perkembangan jaman. Dengan memahami ideologi
meraka, kita dapat membaca atau menganalisa akan ke mana mereka
selanjutnya.
Perbedaan merupakan sunatullah.
Perbedaan yang tercermin pada ekspresi politik aliran tidak perlu di
permasalahkan dan menjadi sumber konflik. Yang lebih penting adalah
bagaimana seluruh umat menyadari dan memahami kenyataan bahwa perbedaan juga
memperkaya sekaligus rahmat yang harus dijaga. Dengan perbedaanlah akan
tumbuh otensitas keimanan dalam hidup bermasyarakat karena benturan-benturan
atau konflik yang terjadi dan upaya menyelesaikannya akan mendewasakan
sekaligus menjadi pengalaman yang berharga. Wallahu a’lam.
RUMAH SAKIT INSAN CITA ; UTOPISKAH ?
Oleh: Dr.Galih
Endradita M. (Ketua Umum/Direktur Bakornas LKMI PB HMI).
“ Media pengembangan
profesi kesehatan berbasis Pelayanan Medis yaitu Rumah Sakit ataupun Poliklinik
merupakan hal yang realistis bagi kader kesehatan HMI, budaya pelayanan
kesehatan yang dilakukan tentulah perlu diwadahi dalam sebuah kelembagaan
kesehatan yang professional (GALIH)” “ Media pengembangan profesi kesehatan
berbasis Pelayanan Medis yaitu Rumah Sakit ataupun Poliklinik merupakan hal
yang realistis bagi kader kesehatan HMI, budaya pelayanan kesehatan yang
dilakukan tentulah perlu diwadahi dalam sebuah kelembagaan kesehatan yang
professional (GALIH)” Assalamualaikum, HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) merupakan
organisasi berbasis kemahasiswaan tertua dan terbesar di Indonesia. Sejak
didirikan oleh Lafran Pane, HMI telah melahirkan begitu banyak alumni yang tersebar
di seluruh Indonesia dan merata pada hampir seluruh strata tatanan masyarakat.
Kuantitas yang begitu besar, diimbangi oleh kualitas kader yang begitu baik,
menunjukkan sebuah keseimbangan organisasi yang mapan, sampai hari ini, telah
menyebar pada seluruh wilayah Indonesia dan merambah semua pusat kemahasiswaan
baik Perguruan Tinggi Negeri dan Perguruan Tinggi Swasta.
Kelembagaan HMI yang mengusung idealisme gerakan kemahasiswaan dan kepemudaan
memiliki sayap gerakan yaitu lembaga pengembangan profesi. Lembaga Pengembangan
Profesi (LPP) merupakan lembaga untuk mempersiapkan kader HMI menjadi
professional pada lapangan studi kader. Terdapat banyak LPP sebut saja LKMI
(Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam), LTMI (Lembaga Tehnologi Mahasiswa Islam),
LDMI (Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam), LAPMI (Lembaga Pers Mahasiswa Islam) dan
LPP lain sesuai dengan keseminatan profesi yang dimiliki kader. LPP pada
tingkatan Pengurus Besar atau dikenal dengan Bakornas (Badan Koordinasi
Nasional) bersinergis dengan Pengurus Besar HMI, pada tingkatan cabang juga
bersinergis dengan struktur HMI setingkat. Sebagai sayap pengembangan profesi,
LPP kerap bersinggungan dengan profesi secara umum. Pada wilayah kesehatan
Bakornas LKMI dan LKMI HMI Cabang akan menjalin kemitraan dengan lembaga
kesehatan baik formal dan Informal. LPP Bakornas LKMI PB HMI dan LKMI HMI
Cabang terbentuk dari keseminatan profesi kesehatan dengan sumber daya
mahasiswa kedokteran, kedokteran gigi, farmasi, kesehatan masyarakat dan
keperawatan. Modalitas kader kesehatan yang pada akhirnya menjadi profesi
dokter, dokter gigi, apoteker dan lainnya mempunyai nilai plus tersendiri bagi
institusi HMI. Pada tataran praxis HMI menjadi begitu mudah melakukan kegiatan
social baik bakti social pengobatan massal, khitanan massal, bahkan
penanggulangan dampak bencana alam. Fase kemahasiswaan kader HMI secara umum
dan kader LKMI secara khusus pada akhirnya akan selesai, seorang kader akan
menapaki jenjang profesi yaitu kesehatan (dokter, dokter gigi, apoteker dan
kesmas) dan bekerja sebagai professional. Beberapa LKMI HMI Cabang seperti LKMI
HMI Cabang Surabaya, Malang, Solo dan Semarang mencoba menangkap konstruksi ini
dalam bentuk pelayanan kesehatan seperti Rumah Sakit Bersalin, Unit Gawat
Darurat dan Poliklinik kecil. Bagaimanapun konstruksi LKMI HMI Cabang, mereka
mencoba menangkap modalitas dokter ataupun dokter gigi sebagai sarana
pengkaderan dan profit bagi kelembagaan LKMI. Hanya saja, modalitas ini hasil
kerjasama antara LKMI HMI Cabang dengan institusi eksternal semisal ; Rumah
Sakit Islam dan Rumah Sakit Muhammadiyah (Surabaya dan Malang), Yayasan Sosial
(Solo dan Semarang), hubungan kerjasama ini sebagai keniscayaan karena LKMI HMI
meluluskan tenaga dokter dan dokter gigi plus (telah terdidik managemen dan
organisasi), notabene keunggulan ini jarang dimiliki oleh dokter atau dokter
gigi lain. Potensi ini kita sadari atau tidak, inilah potensi yang kita miliki
dan dapat digerakkan menjadi sebuah jaringan kesehatan yang luas. Kajian
internal Bakornas LKMI PB HMI menguatkan pendapat bagaimana mengubah potensi
ini menjadi kekuatan luar biasa yang menggerakkan organisasi LKMI dan HMI
secara umum. Masih jelas dalam ingatan kita, badai krisis ekonomi yang melanda
bangsa pada tahun 1998 dimana struktur atau bangunan ekonomi mengalami
kemunduran dan terpukul. Sector kesehatan tetap stabil seakan-akan tidak
terpengaruh oleh krisis tersebut. Fenomena ini secara pelan dan pasti
menyebabkan bisnis kesehatan menjadi sector primadona yang mengundang investor
untuk masuk dan melakukan investasi. Bisnis kesehatan tetap stabil lebih
dikarenakan bangunan kesehatan merupakan bangunan jasa yang demand –nya stabil.
Sehingga investasi pada sector kesehatan, merupakan investasi yang cukup
menarik. Mencoba kembali pada konteks LKMI, lembaga kesehatan professional
berupa Rumah Sakit ataupun Poliklinik mempunyai nilai plus dalam beberapa
kerangka dasar sebagai berikut
A. MEDIA PROMOSI
KADER
Dinamika
kemahasiswaan dalam beberapa kajian mengalami beberapa perubahan mendasar. Pada
decade 80-an, mahasiswa begitu mudah untuk berbicara, dan bergerak secara
massif dalam kontruksi idealisme organisasi kemahasiswaan. Namun, saat ini
mengalami pergeseran. Komunitas mahasiswa lebih mudah digerakkan apabila
organisasi berbicara bagaimana meningkatkan kapasitas akademis dan profesi,
setelah itu baru kemudian dimensi organisasi secara managemen dan kepemimpinan
diperkenalkan secara bertahap. Organisasi harus bisa membaca student college
needed kemudian melakukan kaderisasi organisasi, bila ini dilakukan maka organisasi
akan eksis, begitupun sebaliknya. Bagi HMI dan LKMI HMI hal ini tercetak tebal,
segmentasi Rumah Sakit ataupun Poliklinik menjadi nilai plus dan menjadi daya
tarik kader untuk bergabung dalam HMI.
B. MEDIA
KADERISASI
Rumah Sakit
ataupun Poliklinik dalam kelembagaan LKMI HMI merupakan miniature Rumah Sakit
Pendidikan pada struktur Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi.
Konteks rumah sakit pendidikan merupakan media kegiatan pembelajaran
ketrampilan medik dan human relations. Ketika HMI menyebut dirinya sebagai
second university tidak berlebihan bila kita menyebut LKMI sebagai second
teaching hospital dimana LKMI secara kelembagaan dapat memberikan nilai plus
pendidikan profesi. Keutamaan ini yang kemudian akan membedakan HMI dengan
organ kemahasiswaan lain, metodelogi yang akan menjaga arus kaderisasi dalam
tubuh HMI dan LKMI secara khusus.
C. MEDIA PROFIT ORGANISASI
Sektor kesehatan
secara makro merupakan sector yang menjanjikan, ketahanan menghadapi
fluktualitas ekonomi menjadikan sector ini banyak diminati pemilik modal.
Ketika kita jabarkan pada tataran LKMI, maka poliklinik ataupun Rumah Sakit
dapat memberikan income bagi organisasi, sehingga pendanaan organisasi akan
selesai. Kita ketahui bersama, hari ini pendanaan HMI lebih pada sumbangsih
yang tulus dari Alumni HMI dan bantuan swasta. Bila di analisa secara detail,
akan muncul kesimpulan bahwasanya HMI bukanlah organisasi yang mandiri secara
financial, sedangkan kemandirian financial merupakan ciri organisasi yang mapan
. Apology bahwasanya beginilah realitas organisasi kemahasiswaan harus kita
dekontruksi kembali, karena bagaimana kita mengharapkan HMI dapat menjadi
harimau yang dengan idealisme menerkam dan menerjang apabila ia tidak memiliki
kemandirian dalam anggaran pembelajaan organisasi. Sektor kesehatan memberikan
sebuah alternative solusi untuk menjawab permasalahan ini.
D. MEDIA
PENGABDIAN MASYARAKAT
Mahasiswa pada
hakikatnya mempunyai 2 dimensi, ibarat mata uang ia tidak terpisahkan. Dimensi
akademik dan profesi yang pragmatis pada satu sisi, dan dimensi organisasi
kepemimpinan yang idealisme pada sisi lain. Terima kasih yang tak terhingga
saat founding father HMI menangkap dimensi ini dengan dilahirkannya lembaga
kekaryaan atau lembaga pengembangan profesi. Secara ideal diharapkan terdapat
sebuah keseimbangan antara retorika utopis wacana dan tataran aksi pengabdian
kepada masyarakat. meminjam istilah “berfikir tentang langit, tetapi kaki tetap
menginjak tanah” Permasalahan kebangsaan hari ini tidak bisa kita selesaikan
dalam kerangka wacana dan konseptual semata, perlu langkah-langkah pendampingan
membumi untuk bersama masyarakat membangun kemandirian. Apabila organisasi
mempunyai keseimbangan antara keduanya maka kinerja organisasi akan lebih
didengarkan, HMI melalui LPP mempunyai potensi menetapkan keseimbangan ini.
E. MEDIA
SILATURAHMI DAN JARINGAN KESEHATAN
Jaringan
kesehatan hakikatnya adalah jaringan alumni professional pada konteks
kesehatan. Jaringan alumni merupakan media silaturahmi, mengangkat harkat dan
martabat saudara kita. Istilah saling berpegangan erat, melindungi satu sama
lain merupakan makna persaudaraan diantara kita saudara muslim dan diantara
kita saudara HMI. Bangunan silaturahmi ini merupakan bentuk soliditas yang
menjadi modal utama saat kader HMI menapaki langkah pasca dunia kemahasiswaan.
hubungan pribadi dalam organisasi merupakan embrio hubungan bisnis yang saling
menguntungkan pada kemudiaan hari. Jaringan kesehatan pada tataran LKMI
tersirat dari bisnis kesehatan yang kita kembangkan, terutama bagaimana kita
menampung kader profesi kesehatan sehingga alih alih digunakan dan
diperkerjakan oleh institusi lain, mengapa tidak kita mintai bantuan untuk
mengembangkan centre kesehatan yang kita miliki. Media pengembangan profesi
kesehatan berbasis Pelayanan Medis yaitu Rumah Sakit ataupun Poliklinik
merupakan hal yang realistis bagi kader kesehatan HMI, budaya pelayanan
kesehatan yang dilakukan tentulah perlu diwadahi dalam sebuah kelembagaan
kesehatan yang professional. Tentunya sebuah Rumah Sakit Insan Cita bukanlah
sebuah mimpi yang utopis, tetapi kenyataan yang tertunda. Kapan kah itu
terjadi, semoga Allah SWT meridhoi langkah kita. Amin (GALIH) Billahittaufiq
wal hidayah,
Wassalamualaikum Wr Wb
Gerakan Mahasiswa dan Wacana Demokrasi. (SALMAN
AL-FARISI)
Masihkah Berharap Pada Demokrasi? Ketika kita mencoba melakukan survei tentang
istilah yang paling populer saat ini, maka kata demokrasi akan berada pada
peringkat teratas. Sebagai sebuah ide, demokrasi telah terlanjur menjadi maskot
yang disakralkan; sebagai sebuah wacana, demokrasi sejak kelahirannya telah
dianggap sebagai berkah bagi kehidupan; begitu pula sebagai sebuah sistem,
demokrasi telah mendorong manusia untuk berusaha mewujudkannya. Masihkah
Berharap Pada Demokrasi? Ketika kita mencoba melakukan survei tentang istilah
yang paling populer saat ini, maka kata demokrasi akan berada pada peringkat
teratas. Sebagai sebuah ide, demokrasi telah terlanjur menjadi maskot yang
disakralkan; sebagai sebuah wacana, demokrasi sejak kelahirannya telah dianggap
sebagai berkah bagi kehidupan; begitu pula sebagai sebuah sistem, demokrasi
telah mendorong manusia untuk berusaha mewujudkannya. Apakah benar bahwa ide
ini akan menjadi solusi atas persoalan dunia saat ini sehingga harus
diperjuangkan? Apakah benar bahwa demokrasi memberikan kebaikan untuk manusia
atau malah sebaliknya? Sebelum membicarakan lebih jauh tentang demokrasi, perlu
kiranya kita menjernihkan pemahaman dan menetapkan suatu frame yang benar dalam
memaknai suatu istilah. Ini penting agar kita tidak terjebak oleh anakronisme,
yaitu pembacaan atas sebuah pemikiran dengan mengambil tafsiran-tafsiran yang
berasal dari luar konteks historisnya (Ahmad Baso, 1999). Karena dari kesalahan
pada tataran ini bisa melahirkan pemahaman tentang demokrasi yang destruktif,
yang tentu berpengaruh buat kita dalam memberikan apresiasi yang obyektif.
Apalagi memang demokrasi sebagai sebuah idiom memang memiliki nilai sosial
historis dan makna terminologi tertentu. Demokrasi adalah suatu ide yang
memiliki latar belakang historis yang unik, yakni di Eropa pada abad 1350 M
-1600 M (walaupun jauh – jauh sebelumnya sekitar abad 6 - 3 SM telah dikenal
sistem demokrasi langsung di Yunani). Pada saat itu terjadi pergolakan yang
melibatkan para penguasa di Eropa yang mengklaim bahwa penguasa adalah wakil
Tuhan di muka bumi dan berhak memerintah rakyat berdasarkan kekuasaannya.
Kekuasaan penguasa menjadi lebih terjaga ketika para kaum agamawan, dalam hal
ini pendeta-pendeta menjadi corong penguasa sekaligus menjadi alat legitimasi setiap
kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa. Akibatnya, penguasa menjadi pihak
yang absolut dan tidak terkendali sehingga terjadi kesewenang-wenangan dan
kezaliman terhadap rakyat. Untuk menutupi kesalahannya, penguasa juga telah
menutup gerak para ilmuwan yang berusaha menyuarakan pertentangannya dengan
pendapat penguasa dan kaum gerejawan (contoh kasus; dipenggalnya Galileo
Galilei). Sampai pada titik yang tidak bisa lagi ditolerir, akhirnya muncul
kekuatan dari poros lain yang dimotori oleh para filosof dan ilmuwan yang
berusaha untuk merubah keadaan. Mereka mulai membahas tentang perlunya
pemerintahan yang dikendalikan oleh rakyat. Bukan pemerintahan yang diatur atas
nama agama ataupun Tuhan. Namun karena seimbangnya kekuatan kedua kubu sehingga
yang lahir adalah kompromistik yang juga melatarbelakangi kelahiran faham
sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan. Agama hanya ditempatkan
sebagai bentuk ritual manusia dengan Tuhan sedang untuk kehidupan diatur
sepenuhnya oleh manusia. Otomatis karena kekosongan aturan ditengah manusia
maka lahirlah ide Demokrasi ini. Dalam negara demokrasi, rakyatlah yang
berdaulat, artinya merekalah yang memiliki suatu kemauan (Rousseau; peletak
teori kedaulatan rakyat). Kalau rakyatnya inginnya begitu ya begitu. Aktualisasi
kehendak tersebut dapat dilihat dari kebebasannya dalam membuat hukum dan
aturan yang diterapkan ditengah masyarakat. Rakyat dapat mengubah sistem
ekonomi, politik, budaya, sosial, dan apapun yang sesuai dengan kehendaknya.
Rakyat pula yang berhak untuk membuat undang-undang dan UUD sebagai wujud
keinginannya. Jangan pernah berharap dalam demokrasi akan dikenal pertimbangan
halal dan haram, yang ada adalah apakah itu mendatangkan mamfaat atau tidak.
Walhasil, dalam demokrasi, rakyat yang dijadikan sebagai `Tuhan".
Karenanya esensi dari demokrasi yang diakui sendiri oleh penganutnya yakni
suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populi, Vox Dei). Untuk lebih menjernihkan
lagi, maka perlu ditambahkan beberapa substansi mendasar dari demokrasi, diantaranya:
Konsep pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam sistem
demokrasi, kebenaran adalah yang didukung oleh suara terbanyak, baik secara
mufakat atau voting. Makanya kebenaran itu akan senantiasa bersifat ambivalen
tergantung kepentingan mana yang berpengaruh,padahal yang namanya kebenaran
adalah jelas. Laut itu adalah asin dan tetap asin walaupun semua orang
berteriak laut itu manis. Namun dalam demokrasi kemungkinan itu bisa terjadi
lantaran pendukung bahwa laut
itu manis lebih mayoritas dikarenakan kebanyakan pemilih adalah orang gunung
yang tidak mengenal laut. Meskipun suara itu diraih sebanyak 50 persen tambah 1
suara. Dari kelemahan ini, maka berkembangkanlah teori Machiavelli yang
menghalalkan segala cara untuk meng-Goal-kan setiap aturan yang diinginkan.
Menggunakan politik uang, politik belah bambu, manipulasi suara, bahkan sampai
tindakan intimidasi adalah fenomena yang wajar dalam demokrasi. Pemikiran
mendasar yang lain yaitu bentuk trias politica yang diperkenalkan oleh John Locke
(1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755), konsep ini membagi kekuasaan menjadi
tiga yaitu kekuasaan legislatif yang membuat peraturan dan undang-undang,
kekuasaan eksekutif yang melaksanakan, dan kekuasaan yudikatif yang berhak
mengadili atas pelanggaran undang-undang. Kalau kita jeli melihat bahwa trias
politica, terutama dalam kekuasaan legislatif itu lahir akibat kegagalan konsep
awal dalam demokrasi untuk mewujudkan aspirasi seluruh rakyat dalam kekuasaan.
Adanya kemustahilan untuk melahirkan suatu aturan yang merupakan representasi
seluruh rakyat maka dibuatlah lembaga perwakilan yang diharap bisa mengakomodir
suara rakyat. Sampel bisa dilihat di Indonesia yang memiliki penduduk lebih 220
juta hanya diwakili oleh sekitar 550 orang di lembaga legislatif. Siapa pun
yang mau jujur, maka akan mengatakan bahwa demokrasi bukanlah pemerintahan
rakyat, tetapi lebih tepat dikatakan pemerintahan rakyat minoritas. Mengutip
apa yang dikatakan oleh Gatano Mosca, Clfrede Pareto, dan Robert Michels,
cenderung melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani
minoritas atas mayoritas. Demokrasi sebagai ide yang mengandung banyak
kecacatan dan kerusakan didalamnya, tetapi bisa eksis bahkan senantiasa
diperjuangkan lebih dikarenakan ide ini dipaksakan untuk diterima oleh
pengusung demokrasi. Untuk menutupi kubusukannya maka demokrasi akan senantiasa
melakukan reinkarnasi- reinkarnasi yang mengesankan bahwa ide ini bisa diterima
kapan saja dan oleh siapa saja. Ketika demokrasi dibenturkan dengan sosialisme,
maka muncullah gagasan keadilan sosial dan sosialisme negara yang merupakan mix
idea yang justru melahirkan ketidak jelasan. Begitu pula untuk menarik umat
Islam yang secara diametral bertentangan dengan demokrasi yang beraqidah
kedaulatan justru ditangan Allah, maka lewat mulut orang Islam sendiri yang
telah teracuni pemikirannya mengatakan bahwa Islam tidak berseberangan dengan
demokrasi karena katanya dalam Islam pun mengakui demokrasi dengan adanya
musyawarah. Sungguh sangat disayangkan ketika ada umat Islam yang menerima
pendapat ini. Musyawarah memang dikenal dalam Islam, begitu pula kejujuran,
keadilan, kasih sayang, toleransi, juga ada dalam Islam. Tetapi tentu itu bukan
alasan kita mengatakan Islam itu sama dengan demokrasi, atau Islam itu sama dengan
agama lain dan ajaran-ajaran yang menawarkan konsep humanis serta moralitas.
Sebagaimana kita tidak mau dikatakan sama dengan monyet hanya dikarenakan kita
sama-sama punya mata, hidung, telinga, ataukah suka makan pisang. Namun, justru
adanya kecenderungan inkonsisten dan ambivalensi seperti ini menjadi bukti
kegagalan demokrasi dalam mengatur manusia. Ketika demokrasi selalu ditampilkan
dengan wajah keadilan, lalu mengapa penolakan sebagian besar masyarakat
terhadap kenaikan BBM yang terbukti sangat tidak logis justru tidak mau
digubris demi menyenangkan para kapitalis-kapitalis haus darah? Begitu pula
ketika Demokrasi mengusung kebebasan, lalu mengapa ruang gerak kaum muslim
untuk menjalankan ibadahnya secara total selalu dibatasi. Karakter yang harus
dimunculkan oleh suatu konsepsi yang akan mengatur kehidupan adalah karakter
ketegasan dan adanya kemampuan dalam menjawab perkembangan zaman. Sebuah konsep
yang benar harus terlahir dari pemaknaan atas manusia dan kehidupan yang telah
dirumuskan untuk selamanya. Tidak bersifat temporer dan pragmatis hingga
membuat kita sakit kepala karena mudah terombang ambing. Hal ini tidak kemudian
didapatkan dalam demokrasi yang senatiasa mengalami metamorfosa (perubahan).
Bahkan saat ini demokrasi hanya dijadikan sebagai alasan yang cantik bagi
negara-negara besar (red:Amerika) . Dengan slogan atas nama demokratisasi,
mereka melakukan penjajahan kepada negara-negara yang bisa menghambat
kepentingannya. Bagaimana Amerika dengan seenaknya menyerang Afganistan dan
Iraq yang telah memakan ratusan ribu korban. Belum lagi kasus penyiksaan yang
sangat biadab terhadap tawanan Irak. Begitu pula saat kita menengok kedalam
negeri dedengkot demokrasi tersebut, maka akan ditemukan adannya perlakuan
diskriminasi terhadap rakyat yang berkulit hitam, tingkat kriminalitas yang
sangat tinggi (red: bisa dilihat saat terjadi bencana Katrina), kesenjangan
sosial yang sangat tinggi (tidak seindah yang sering diberitakan) . Tidak
berbeda dinegara-negara pengusung demokrasi yang lain seperti di Eropa,
bagaimana ruang untuk beragama bagi penduduk Islam disana menjadi sempit karena
pelarangan memakai jilbab seperti di Franci dan beberapa negara Eropa lainnya.
Dibolehkannya kehidupan abnormal, Guy dan Lesbian yang justru dalam dunia
binatang tidak kita dapatkan. Penegakan hukum yang jauh dari keadilan, Atas
nama demokrasi Palestina yang hanya membela diri disebut teroris, sementara
Israel yang terus menerus menggempur Palestina dinamai "membela hak".
Lantas dari catatan-catatan tadi, apa yang kita harap dari demokrasi…? Jangan
sampai cita-cita menuju masyarakat demokrasi yang senantiasa diagungkan adalah
cita-cita kosong dan membual dikarena merupakan ide utopis yang tidak akan
pernah terwujud. Marilah kita jujur untuk menilai!!!
Sepertinya kita lupa bahwa yang paling mengetahui apa yang terbaik untuk
manusia dan kehidupan ini adalah zat yang telah berkuasa menciptakan segala
sesuatu. Bukan diserahkan pada akal manusia yang terbatas dan hawa nafsu yang
kadang tak terkendali. Kehidupan alam semesta dan manusia telah digariskan
sebuah aturan yang ketika keluar dari rel yang ada maka akan menimbulkan
kekacauan. Aturan itu tidak lain adalah yang disampaikan lewat wahyu dari Tuhan
yang terangkum dalam ajaran agama, yang mengalami kesempurnaan setelah datangnya
Islam. Saatnya bagi kita untuk mengembalikan peran agama sebagai pengatur
kehidupan,bukan doktrin gereja dimasa kegelapan eropa yang hampa akan aturan,
tetapi dengan Islam yang paripurna yang menjanjikan cahaya kebenaran.
Rekonstruksi Paradigma Gerakan Mahasiswa. (SALMAN
AL-FARISI)
Siapapun dia tidak bisa memungkiri, bahwa gerakan mahasiswa memiliki peranan
yang cukup berarti dalam perjalanan bangsa ini. Berbagai macam momen dan
peristiwa yang terjadi senantiasa menghadirkan sosok mahasiswa sebagai bagian
dari unsur terpenting. Siapapun dia tidak bisa memungkiri, bahwa gerakan
mahasiswa memiliki peranan yang cukup berarti dalam perjalanan bangsa ini.
Berbagai macam momen dan peristiwa yang terjadi senantiasa menghadirkan sosok
mahasiswa sebagai bagian dari unsur terpenting. Setumpuk predikat filosofis pun
dikalungkan buat mahasiswa; mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change),
kontrol sosial (social control), kekuatan moral (moral force), cadangan
potensial (iron stock), dan sebagainya walaupun akhirnya seiring dengan semakin
terkikisnya vitalitas mahasiswa, akhirnya predikat itu menjadi ungkapan
romantisme belaka. Pertanyaan yang patut diajukan, mengapa gerakan kaum
intelektual ini seolah belum menemukan pola baku dalam melawan segala tirani dan
ketidakadilan para penguasa, yang semakin hari semakin tidak lagi memihak
kepada rakyat yang sebagian besar umat Islam ? Kaitannya dengan demokrasi,
memang kita akan melihat bahwa mahasiswa adalah bagian dari komponen yang telah
terbodohkan dengan demokrasi. Mereka hampir sepakat bahwa demokrasi adalah ide
yang baik untuk diambil hingga akhirnya menjadi nilai – nilai yang mewarnai
perjuangannya. Setidaknya mahasiswa masih akan berkilah jika diperhadapkan
dengan keburukan dan kegagalan demokrasi, bahwa bangsa Indonesia memang masih
pada tahap belajar berdemokrasi atau transisi demokrasi. Padahal negara
demokrasi sendiri hanya ada dalam komik-komik yang dikarang oleh tokoh-tokoh
Barat dan para Islamofhobia. Kemudian mahasiswa (termasuk mahasiswa muslim) ikut-ikutan
latah seperti apa yang dikatakan mereka. Akibatnya gerakan mahasiswa tidak lagi
memiliki orientasi yang sejalan dengan ide-ide Islam sebagai ide terbaik yang
seharusnya menjadi Value of objektif bagi pergerakan mereka. Ironis Memang
!!!!!
Kawan-kawan
mahasiswa, mari kita saksikan bahwa terdapat beberapa hal yang menjadi faktor
kerancuan dari gerakan mahasiswa saat ini yang sekaligus sebenarnya menjadi
faktor dari berbagai macam kegagalan–kegagalan pencapaian usaha mahasiswa.
1. Ide
yang Tidak Jelas.
Pengadopsian sebuah ide atau pemikiran gerakan
menjadi unsur yang penting bagi gerakan mahasiswa sebagai nilai perjuangan
nantinya. Ide atau pemikiran itu haruslah ide dan pemikiran yang benar dan
jelas. Dalam artian telah melalui proses studi kelayakan dan disimpulkan apakah
baik untuk diadopsi. Ternyata prinsip ini dilupakan oleh gerakan mahasiswa
selama ini. Mahasiswa tidak mampu menampilkan diri sebagai insan yang cerdas,
lebih bersifat emosional tapi non konseptual. Banyak bermain pada wilayah kritik
auto kritik tapi kering akan solusi. Ketika Barat menyerukan demokratisasi,
mahasiswa pun menyerukan hal yang sama. Ketika Barat menyerukan pluralisme,
mahasiswa pun latah dengan apa yang dikatakan pihak Barat. Yang lebih
disayangkan ketika gerakan mahasiswa justru menjadi pelanggeng sistem status
quo yang jelas – jelas telah busuk dan tidak layak dipelihara. Lagi – lagi
karena mahasiswa tidak memiliki pemikiran dan konsep yang jelas.
2. Tidak
Menyentuh Akar Permasalahan.
Karena tidak lagi didasari sebuah ide dasar yang
jernih dan sahih. Maka tidak dapat lagi melihat dengan jeli apa sebenarnya akar
permasalahan yang terdapat di negeri-negeri kaum muslimin termasuk di
Indonesia. Karena alasan seperti itu mengakibatkan solusi yang disodorkan oleh
gerakan mahasiswa tidak pernah menyelesaikan permasalahan dengan tuntas. Malah
solusi yang ditawarkan oleh mereka tidak lebih dari sebuah upaya yang
mempercantik rongsokan `mobil' yang berkarat. Misalnya menyelesaikan
permasalahan BHMN/BHP, tidak mungkin hanya sebatas berteriak-teriak `tolak
BHMN/BHP'. Begitu pula permasalahan kebobrokan ekonomi tidak hanya sebatas
tolak privatisasi atau turunkan harga kebutuhan pokok. Ataupun melihat
ketidakadilan tidak mungkin kita hanya menyerukan tegakan keadilan dan
bersihkan aparat pemerintah dari KKN. Semua itu terjadi akibat hegemoni system
Kapitalis-Sekuler yang diterapkan pada kita. Buanglah itu semua, karena ide-ide
itu masih umum dan tidak menyentuh akar permasalahan yang ada. Padahal asas
kehidupan di negeri ini jelas-jelas berdiri diatas sekulerisme. Tapi mengapa
kita takut mengatakan bahwa system sekarang sudah bertolak belakang dengan
Islam. Mengapa kita takut mengatakan bahwa hanya satu aturan Islamlah yang
benar. Bukankah kita semua tahu sendiri bahwa kebobrokan kehidupan saat ini
karena tidak diterapkannya system Islam secara Kaffah. Malah kita terjebak
dalam roda pergerakan system Kapitalis saat ini, bukankah Allah telah
mengingatkan kita "Siapa saja yang berpaling dari dzikri (kitab-Ku),maka
baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya di pada hari
Kiamat dalam keadaan buta." (QS. Thaha [20]:124).
3.
Metode Gerakan yang Reformatif.
Dikarenakan sebagian gerakan mahasiswa tidak melihat
akar permasalahan dengan jeli, ini mengakibatkan desakan-desakan yang
dilancarkan tidak lagi bersifat solutif. Metode mereka lebih bersifat tambal
sulam (reformasi) atas sistem saat ini. Bukannya akan memperbaiki kondisi tapi
akan semakin rusaklah kondisi kehidupan umat yang selama ini terpuruk oleh
system Kapitalis sekarang. Katakanlah pada semua. Logika Darimana perjuangan
kita harus reformatif (ishlahi) padahal asas kehidupan masyarakat kita adalah
sekuler. Kecuali bila dalam kehidupan kita telah tegak sistem Islam. Seharusnya
saat ini kita bongkar asas itu dan kita gantikan dengan Islam. Perubahan yang
harus kita lakukan adalah perubahan mendasar (Taghyir) dan menyeluruh. Karena
dasarnya saja sudah salah apalagi cabang-cabangnya. Bila kita masih saja
menyerukan seruan-seruan yang hanya sebatas tegakan supremasi hukum, berantas
KKN, tegakan keadilan, turunkan harga kebutuhan pokok, tolak BHMN, dsb. Tanpa
membongkar asas kehidupannya yang sesat, sama saja kita mengakui diterapkannya
system sekulerisme.
4.
Pragmatis.
Idealisme sebagian gerakan mahasiswa tidak lagi
muncul dalam pemikiran-pemikiran nya. Idealisme itu seolah tenggelam ditengah
kegalauan kehidupan ini. Berbenturan dengan kebutuhan perut, berbenturan dengan
ketidakpercayaan diri dalam menghadapi arogansi Barat ataupun berbenturan
dengan mayoritas suara yang menyesatkan. Sehingga bukannya melurusakan segala
fenomena yang rusak yang bertentangan dengan aturan-aturan Islam, malah
mencari-cari dalil demi jastifikasi realitas yang ada. Sekali lagi, bukannya
terjadi perubahan yang Islami malah akan semakin eksisnya system sekuler
sekarang. Ingatlah bahwa realitas tidak bisa kita jadikan dalil dalam
menetapkan hukum melainkan objek yang harus dihukumi. Karena kita tidak bisa
katakan bahwa riba itu halal dikarenakan masyarakat telah terlanjur banyak
menerapkannya. Justru Islamlah yang seharusnya menjadi standar hidup bagi
realitas umat ini. Allah Swt. berfirman "Sesungguhnya Kami telah
menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran supaya kamu mengadili
(menghukumi) manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu" (QS.
An-Nisa' [4]: 105).
5. Tidak
Ideologis.
Ideologi merupakan pandangan hidup yang menyeluruh
yang akan menelurkan sebuah sistem bagi kehidupan manusia. Inilah simpul dari
semua kerancuan gerakan mahasiswa muslim saat ini. Gerakan-gerakan mereka tidak
dilandasi sebuah ideologi Islam yang jelas. Sehingga dapat kita saksikan,
ide-ide yang diusung oleh sebagian gerakan mahasiswa lebih bersifat serabutan,
dengan mencampurkan Ide-ide sekuler dan Islam. Akibatnya arah perjuangan merekapun
tidak menentu. Konsep-konsep perubahan dan kebangkitan pun lebih banyak
mengekor pada konsep-konsep Barat. Karena pemikiran mereka tidak lagi
berhubungan dengan lingkungan, kepribadian, dan sejarah kaum muslimin, serta
tidak lagi bersandar pada ideologi kita yaitu Islam. Oleh karena itu, kita yang
karena telah terdidik seperti itu menjadi suatu kelompok asing ditengah-tengah
umat, yang tidak lagi memahami keadaan kita dan hakikat kebutuhan umat Islam.
Khatimah
Ketahuilah kawan-kawan mahasiswa, kita semua akan menjadi saksi kehancuran dari
negeri ini bila kita biarkan sistem yang bobrok ini. Tidak cukup kita hanya
menyerukan isu-isu yang parsial, melainkan harus menyentuh akar permasalahannya
yaitu ganti sistem ini dengan sistem yang baru yakni Islam (baca : khilafah).
Sesungguhnya menjadikan demokrasi sebagai cita – cita dan standar perjuangan
adalah kekeliruan besar mahasiswa / lembaga/ gerakan mahasiswa dan akan
selamanya menjadi faktor kegagalan demi kegagalan yang kita dapatkan. Khusus
untuk rekan – rekan mahasiswa muslim, Islam tidak bisa dikompromikan dengan
ide-ide yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam (baca : Demokrasi). Islam
adalah ideologi kita yang mampu memberikan solusi pada semua permasalahan umat
manusia. Ke depan, gelombang perubahan dan benturan ideologi akan semakin
terasa, Islam akan menantang dan meruntuhkan Kapitalisme- Sekuler dan
Sosialisme-Komunis. Tinggal kita serukan kepada kawan-kawan mahasiswa, apakah
anda akan berada dibalik perjuangan kapitalis dan sosialis atau dibalik perjuangan
Islam ? Sangat disayangkan jika ada yang salah pilih tapi lebih disayangkan
lagi jika ada yang tidak memilih apa–apa selain hanya diam dan bungkam. Wallahu A'lam Bishowab