Sabtu, 31 Januari 2015

Gadis kecilku



Gadis Kecil Ku

Gadis kecilku, lenyap bahagimu sirna terlindas hari
Singkirkan ilalang penghalang jalan
Pernah sesekali kau ajak aku tersenyum
Hingga aku terpaku pada indahnya dirimu
Ku tatapi begitu dalam matamu
Hingga ku temukan sisa sisa tetesan air mata
Yang entah mengapa masih tersisa dalam matamu

Aku larut saat itu
Aku terbuai saat itu

Gadis kecilku
Ketegaran mu membuat semuanya menjadi baik baik saja
Ketegaranmu membuat aku tak pernah sesekali merasa kau begitu jauh dariku
Ketegaran mu membuat aku terbangun dari mimpi dan memandangmu begitu biasa
Kau tersamar sedih dalam senyummu
Kau tersamar kelabu dalam sinarmu
Kau tersamar indah dalam dukamu

ku titih jalan ini setapak demi setapak
buih laksana permadani kau ubahinya
terjatuh aku pada kebisuan
tersandar aku dalam ketenangan

Gadis kecilku, kau ajarkan aku bagaimana menjadi tegap dalam kebimbangan
Kau ajarkan aku menjadi kuat dalam kerapuan
Kau ajarkan aku menjadi tetap maju meski kau tahu seribu setan luka kan menghampirimu
Kau singgasanakan hati dalam gubuk dukamu
Kau permaisurikan cinta dalam deritamu.

Gadis kecilku, tak tahu harus berapa banyak lagi air mata yang kau ubah menjadi tawa kecilmu
Bergetar sedih bibirmu dalam sejuta senyummu. Kau munafikan perasaan agar kau selalu tetap tegar
Namun aku tetap temukan kau dipojok dilemma menghampiri dengan nafas yang tersisah
Aku rangkul semua dalam cerita kita cerita gadis kecilku
Kau pecahkan kerasnya karam kehidupan
sepuluh jari lembutmu kau balut darah kental
memerah tanganmu tak kau pernah terpedulikan
Gadis kecilku, 19 tahun usiamu sirnah dilahap mimpi
Mimpi mimpi yang begitu kau takuti dalam tidur
Sehingga tak hayal bagimu untuk bersedih
Ribuan butiran air mata kau tumpahkan diatas alas kepala
Memerah matamu bah tersengat besi panas
Kau genggam besi itu
Dan tak sekali pernah kau sesali apa yang telah kau lakukan
Lagi dan lagi hanya untuk igau igau malam mu

Kau datang kali ini dalam cerita kecilmu
Kau bawa seribuh sangkar masalahmu
Kau tinggalkan beban berat dipundakmu
Ku rasakan pundakku basah seketika menjadi panas
Aku tahu kau ikhlas menangis saat itu
Tetes tetes air mata kau usap sendiri
Aku dapati tangan yang dahulu indah kini kasar memerah
Aku tahu kau merasakan kerasnya dunia mu

Demi yang mengatur matahari disebelah timur dan tenggelam disebelah barat
Aku mohon ampun padamu tuhanku,
Pertemukan gadis kecilku dengan bahagianya
Jangan biarkan matanya mengering karena sedihnya
Jangan biarkan semua tawanya ternggut sedih
Cukuplah dukanya saat ini
Cukuplah ceritanya sampai disini

Kamis, 15 Januari 2015

KIRI ISLAM DAN IDEOLOGI KAUM TERTINDAS



 SHARE

Istilah kiri Islam yang dimotori Hasan Hanafi merupakan suatu upaya menggali pendasaran ontologis-religius makna revolusioner dari Islam. Sebagai konsekuensi logis dari keberpihakannya kepada umat yang lemah dan tertindas. Sebagaimana dipraktekkan oleh para nabi dan rasul sebagai duta Ilahi dalam kehidupan rakyat pada zamannya.
Istilah kiri dalam terminologi Islam yang dimunculkan Hasan Hanafi merupakan pendekatan epistemologis-religius bukan ideologis (dalam pengertian negatif). Makna kiri dalam pengertian ini merupakan sebuah gerakan revolusi moral -Moral Revolution Govement- untuk memperjuangkan harkat dan martabat kaum tertindas, sehingga persamaan (egalitarian) dan keadilan umat manusia sejajar satu sama lainnya.
Inilah sesungguhnya, secara teologis mission sacre diciptakannya manusia oleh Tuhan sebagai khalifah fi al-ardli, yaitu untuk menjadi wakil Tuhan dalam melaksanakan fungsi ke-Tuhan-an di muka bumi ini. Dengan demikian, kiri merupakan kritisisme religius – nantinya menjadi sosialisme religiusnya Hasan Hanafi – dalam persoalan sosial ekonomi yang berpangkal dari tataran normatif ke pro-aksi, dalam istilah terminologi Hasan Hanafi disebut min al-aqidah ila al-thawrah. Karena itu, secara universal maksud konsep ini adalah untuk membangun kerajaan – surga - Tuhan di bumi ini.
Untuk memahami pengertian kiri dalam pemikiran Hasan Hanafi, maka perlu mengetahui latar belakang penggunaan istilah kiri. Secara umum, konsep kiri selalu diartikan secara politis ideologis yang cenderung radikal, sosialis, anarkis, reformis, progresif atau bahkan liberal. Dengan demikian, kiri selalu menginginkan adanya progresifitas untuk menolak status quo. Kiri Islam – al-yasar al-islami – yang dikembangkan Hasan Hanafi dikenal luas melalui jurnal kiri Islamnya yang terbit untuk pertama dan terakhir kalinya. Kiri Islam merupakan sebuah rasionalisasi kecenderungan sosialistik dalam Islam.
Bila dicermati, sesungguhnya kiri Islamnya Hasan Hanafi merupakan sintesa dari sistem ideologi kapitalisme yang gagal dalam mengangkat martabat manusia. Karena manusia tidak lebih dari sekedar komoditas dari ideologi sosialisme yang berutopia untuk membebaskan manusia. Latar belakang kemunculan kiri Islam juga tidak lepas dari adanya persaingan kedua ideologi tersebut. Pada akhirnya, Hassan Hanafi mampu melakukan modifikasi konsep sosialisme yang materialistik dan determinisme historik. Hasan Hanafi mensintesakan determinisme historiknya sosalisme yang berupaya melakukan pembebasan yang diberi ruh dan pendasaran religius spiritualistik yang dalam hal ini adalah Islam dengan menghilangkan materialistiknya.
Ini dilakukan supaya Islam yang sejak awalnya merupakan sistem kehidupan yang membebaskan kaum tertindas tetap dipertahankan dan menjadi suatu sistem ideologi (dalam makna positif) yang populistik – ideologi kaum tertindas – yang selama ini selalu diklaim sosialisme. Hal inilah yang menjadi kesimpulan dan pilihan Hasan Hanafi yang menamakan gerakannya dengan Kiri Islam yang selalu mengedepankan progresifitas religius dan pranata-pranata lainnya yang bersifat spiritualitas dan historitas.
Kiri Islam menurut Hasan Hanafi bersumber pada ghirah revolusi Tauhid sebagai basis Islam. Untuk membangun kembali peradaban Islam, maka mau tidak mau harus membangun kembali semangat revolusi Tauhid sebagai misi para nabi dan rasul. Muhammad sebagai nabi, mengembangkan misinya dari rumusan Tauhid – laa ilaha illa allah – yang kemudian dimanifestasikan dalam syahadat dan merupakan transformasi tauhid ilahiyah pada tataran tauhid al-ummah.
Revolusi Tauhid Ilahiyah merupakan suatu konsekuensi logis yang membebaskan manusia dari penghambaan, pengkultusan, dan pensakralan terhadap mitos-mitos politik, ekonomi, sosial maupun otoritas oligarki dalam struktur sosial kemasyarakatan. Sedangkan Revolusi Tauhid al-Ummah menekankan pada aspek transformasi pembebasan kehidupan manusia dalam sistem kemasyarakatan yang tanpa dibatasi kelas, egalitarianisme dan tidak eksploratif dalam segala dimensi pada kehidupan kemasyarakatan. Persis seperti struktur kemasyarakatan pada pemikiran komunis dalam utopia Marx, sebagi suatu tingkatan masyarakat pasca sosialisme.
Dalam hal ini, relevan sekali pandangan Murtadla Mutahhari, seorang cendekiawan Iran dalam bukunya The World View of Tauhid, bahwa pandangan dunia tauhid secara kontekstual tidak hanya memandang ke-Esa-an penciptaan –Tuhan tidak butuh ditolong-, namun dalam sosial kemasyarakatan, pandangan dunia tauhid menolak segala bentuk diskriminasi yang berdasarkan ras warna kulit, kelas, garis keturunan, dan kekuasaan. Karena itu, kita dituntut untuk menempatkan manusia dalam kesamaan pada prinsip egalitarianisme.
Anggapan mengenai ke-Esa-an Tuhan harus juga diartikan seagai ke-Esa-an kehidupan, yaitu tidak ada pemisahan antara spiritualitas dan matrealisme, antara ukhrawi dan duniawi, antara jiwa dan badan. Sehingga seluruh aspek kehidupan dalam kerangka tauhid mempunyai tujuan bersatu dalam kehendak Tuhan dengan rasa ketundukan dan kepatuhan pada syari’at Allah – dalam makna luas –. Karenanya segala bentuk penindasan dan eksploitasi, sangat tidak dibenarkan oleh Allah. Disinilah yang perlu di cermati bahwa tidak ada superioritas manusia atas manusia dan makhluk warga dunia lainnya.
Kiri Islam dan Tantangan Barat
Watak Islam yang transformatif – revolusioner ini tidak diteruskan dalam kehidupan saat ini yang global. Islam lebih dipahami pada tataran normatif – formalisme. Watak ajaran Islam yang sebenarnya justru kehilangan peran vitalnya. Apalagi menghadapi globalisasi yang melahirkan agama baru bernama developmentalisme. Maka umat Islam dituntut untuk merekonstruksi terminologi Islam dari tataran teologi ke pro-aksi atau impliksi keberagamaan dan keberimanan pada tindakan sosial.
Dengan adanya developmentalisme tersebut, masyarakat kapitalisme yang diwakili Barat berusaha untuk menciptakan ketergantungan masyarakat Islam. Sehingga secara perlahan namun pasti, masyarakat Islam akan terjajah secara kultural. Masyarakat Islam pada akhirnya tidak akan mampu melakukan apresiasi otonomi terhadap ajaran dan struktur tindakannya sendiri. Masyarakat Islam secara tidak sadar akan terkooptasi.
Berdasarkan realitas tersebut di atas, maka menurut kiri Islam, sumber kebodohan dan keterbelakangan umat Islam sesungguhnya merupakan hasil dari bentukan tradisi umat Islam itu sendiri dan sebagai akibat dari hegemoni peradaban Barat. Karena itu, Hasan Hanafi sangat memperhatikan tradisi atau sejarah umat Islam dan peradaban Barat sebagai suatu peradaban atau ideologi yang dominan – bandingan dengan pandangan atau tesis Samuel P. Huntington mengenai adanya Clash Civilisation West and Islam.
Dalam pengkajiannya terhadap tradisi Islam, Hasan Hanafi dengan kiri Islamnya berkesimpulan bahwa sumber krisis dunia Islam sekarang ini adalah akibat dari tradisi Islam kanan. Jika yang dimaksud kiti adalah resistensi atau perlawanan dan kritisisme, maka kanan berarti kooptasi, pembela status quo dan mengaburkan atau menyamakan antara realitas dan identitas. Dalam konteks ini, yang dianggap termasuk tradisi Islam kanan adalah teologi Asy’ariyah, filsafat iluminasi – emanasi Ibnu Sina dan al-Farabi, Fiqh Normatif Hanafiyah, Tafsir tekstual dan sejarah penindasan yang dilakukan Muawiyah, Yazid dan Bani Umayah lainnya.
Untuk itu dalam mengatasi krisis umat, diperlukan upaya rekonstruksi, pengembangan dan pemurnian tradisi Islam yang berakar pada tradisi Islam kiri, yang oleh Hasan Hanafi dikatakan sebagai berakar pada dimensi revolusioner khazanah intelektual. Dalam konteks ini, yang termasuk tradisi Islam kiri atau revolusioner adalah teologi mu’tazilah, filsafat rasionalisme naturalistik Ibnu Rusyd, prinsip masalah al-mursalah fiqh Maliki, tafsir rasional, kelompok Ali dan Hussein dalam peristiwa fitnah al-kubra.
Penerapan modernisasi pada umat Islam berarti sama dengan mensubordinasikan Islam ke dalam hegemoni Barat. Karena hegemoni adalah universalisasi atau totalisasi seluruh lapisan dan kelompok masyarakat hingga menganut satu ideologi yang sama. Maka hegemoni Barat atas umat Islam berada pada sistem ideologi Barat, yaitu sistem kapitalisme. Inilah penyebab keterbelakangan umat Islam dewasa ini.
Memang gerakan transformasi kiri Islam biasa menganalisa kapitalisme dunia dan banyak menfokuskan perhatiannya pada persoalan-persoalan ekonomi-politik, dengan asumsi sebagai upaya daya pendorong dari perkembangan sejarah dunia. Selama masyarakat Muslim masih terintegrasi dengan kapitalisme global, maka cita-cita Islam sulit dicapai. Pelaksanaan kapitalisme di dunia ketiga – masyarakat Muslim – yang berbentuk modernisasi atau pembangunan, ternyata menimbulkan persoalan yang kompleks.
Timbulnya militerisme – rezim-rezim militer yang otoritarian – , otoritarianisme birokratik, negara koporatis, kapitalisme negara, hancurnya lingkungan hidup, kekerasan, kesenjangan yang semakin tajam antara yang miskin dan yang kaya, keterasingan, memudarnya kehidupan spiritual dengan munculnya kehidupan konsumerisme materialis pragmatisme dan banyak lagi yang menjadi akibat dari sistem kapitalisme dunia. Karena itu, apa yang harus dikembangkan adalah transformasi global dalam menciptakan tata dunia baru non kapitalisme. Selain Hasan Hanafi dalam beberapa hal termasuk Ali Syari’ati, Asghar Ali Engineer dan Ziaul Haq di Pakistan, Gus Dur di Indonesia.
Kini kita berada dalam masyarakat yang sedang berubah cepat. Revolusi industri telah menimbulkan problem yang jauh lebih kompleks. Dalam masyarakat industri, fondasi dasar industrialisasi adalah ekonomi. Tidak mungkin sistem industrialisasi tanpa mengadopsi kebijakan-kebijakan ekonomi. Dalam masalah ini umat Islam harus melakukan reinterpretasi dengan kretif atas konsep-konsep Islam yang berkaitan dengan sosial ekonomi.
Al-Qur’an mendesak orang-orang beriman agar menafkahkan harta yang melebihi keperluan. Konsep ini menunjukkan wawasan yang tajam sesuai dengan sifat dasar manusia untuk menentukan bentuk ekonomi yang berbasis etika sosial Islam. Prinsip-prinsip ekonomi dalam Islam meletakkan produksi dan distribusi yang diatur dengan tujuan-tujuan moral, yang membawa kearah pertumbuhan masyarakat yang harmonis dan adil. Konsep keadilan distributif sangat penting dari suatu produksi dalam membangun suatu masyarakat manusia yang bebas dari eksploitatif.
Sebagai agama universal, agama yang lebih mengedepankan moralitas, masyarakat Islam seharusnya berada pada tataran masyarakat yang satu, masyarakat yang sama dalam perbedaan. Cita-cita moralitas sosial Islam tersebut justru mengalami prodaksolitas dengan fakta-realitas yang ada. Masyarakat Islam bukannya sama dalam perbedaan, tetapi justru selalu bermusuhan dalam perbedaan. Pertentangan di antara masyarakat yang muncul karena dilatar belakangi oleh faktor perbedaan lingkungan, pendidikan, subyektifitas, politis dan egoisme, yang akhirnya perbedaan bukannya menjadi rahmat, melainkan bencana.
Dunia Islam saat ini telah terkooptasi oleh Barat, baik sistem, kepentingan., struktur maupun kultur, hal ini sebagai dampak kolonialisme dan imperialisme. Masyarakat Islam punya ketergantungan yang sangat besar terhadap Barat. Dunia Barat berusaha mencaplok kultur Islam, termasuk tentang Islam itu sendiri. Barat mengupayakan pemahaman Islam versi Barat, supaya dapat diterima oleh dunia Islam. Itulah cara mereka untuk mencabut lebur akar sejarah Islam dari sumber aslinya, al-Qur’an dan al-Sunnah.
Melihat hal tersebut, Hasan Hanafi dengan kiri Islamnya sangat menentang peradaban Barat, khususnya imperialisme ekonomi dan kebudayaan. Hassan Hanafi berusaha memperkuat umat Islam dengan memperkokoh tradisinya sendiri. Karena itu, tugas kiri Islam: pertama, melokalisasi Barat pada batas-batas alamiahnya dan menepis mitos dunia Barat sebagai pusat peradaban dunia serta menepis ambisi kebudayaan Barat untuk menjadi paradigma – dalam makna Kuhn atau Hegemoni dalam pengertian Gramsci – kemajuan bagi bangsa-bangsa lain. Kedua, mengembalikan peradaban Barat pada batas-batas ke-baratan-nya, asal-usulnya, kesesuaian dengan background sejarahnya, agar mereka sadar bahwa terdapat banyak peradaban dan banyak jalan menuju jalan kemajuan. Ketiga, Hasan Hanafi menawarkan suatu ilmu untuk menjadikan Barat sebagai obyek kajian, yakni sebagaimana dia menulis dalam muqaddiamah fi al-istighrab (introduction to oksidentalisme). Oksidentalisme bagi Hasan Hanafi merupakan suatu upaya menandingi Orientalisme dan meruntuhkannya hingga ke akar-akarnya. untuk mengembalikan citra Islam, ia memberikan jalan dengan melakukan reformasi agama, kebangkitan rasionalisme dan pencerahan. Sehingga ketika ada sebuah penilain terhadap Islam, akan lebih proposional dengan menggunakan pendekatan historis, terutama kebudayaan dan sistem sosial Arab.
New imperialisme Barat sangat eksploitatif, agar tidak lagi eksploitatif, maka sistem ekonomi sosial dalam etika sosial Islam memberikan sebuah dorongan alternatif, yaitu alat-alat produksi harus dimiliki secara sosial. Itu hanya bisa dilakukan dengan sosialisasi alat-alat produksi yang dapat diselamatkan. Basis sistem ekonomi dalam sistem sosial Islam adalah keadilan, kebajikan dan penghapusan total terhadap kecurangan dan penindasan struktural. Keadilan dan kebijakan merupakan cita-cita pertama kiri Islam. Agar tidak terjadi kejahatan-kejahatan ekonomi, maka sistem kapitalistik harus dirombak total. Sistem ekonomi dan etika sosial Islam menawarkan sebuah konsep yang dikenal dengan al-adl wa al-ihsan dalam korelasinya dengan konsumsi, produksi dan distribusi dengan manajemen yang lebih humanis. Inilah yang disebut dengan sosialisme religius.
Dalam semua sistem, baik ekonomi, politik, sosial kemasyarakan. Penindasan struktural masih sering dijumpai. Karena itu, Islam hadir – dalam semua aspeknya – sebagai teologi pembebasan yang revolusioner dengan menyusun kembali agenda kesadaran religiusitas Islami. Semua itu, diarahkan pada terciptanya masyarakat tanpa kelas yang juga menjadi tujuan sejati revolusi tauhid al-ummah. Sepanjang kesadaran religiusitas Islami yang utuh dan moralitas tidak ditegakkan, baik dalam struktur kekuatan ekonomi, maupun pada struktur kekuatan lainnya, maka transformasi Islam dari teologi ke revolusi masih belum selesai selamanya.Ala kulli hal, sebenarnya ada kekuatan bersama dalam menolak dan memberangus kekuatan kapitalisme yang dimotori oleh negara-negara Barat. Namun demikian, egoisitas politik ideologis dalam tubuh umat Islam sendiri masih sangat melekat, disinilah seharusnya ada peran dan aksi yang berbasis nilai dan moralitas, dan juga harus ada pembedaan antara konflik politik dengan konflik ideologis, karena persoalan ini adalah akar dari sekian problematika umat Islam. Ending poinnya, konflik sekte dan reaksi “fanatisme buta” ini seharusnya lebih dapat dirasionalitaskan dalam setiap langkah dan tujuan umat Islam. Sehingga setiap pengembangan wacana – apapun reaksi wacananya – yang dilakukan oleh umat Islam, bukannya malah menjadi hujatan dan klaim ideologis – pengkafiran, pemurtadan dan sebagainya, melainkan dijadikan suatu bentuk pengembangan dinamika keilmuan dan keintelektualan dari sekian pluralitas umat Islam.
Semoga !
* Penulis adalah Alumni Mahasiswa S2 Universiti Malaya


Melacak “Akar” Ideologi Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia
Keywords: ideologi, teologi, politik, gerakan, mahasiswa Islam
PENDAHULUAN
Keberadaan gerakan mahasiswa dalam konstelasi sosial politik di negeri ini tak bisa dipandang sebelah mata.  Diakui atau tidak, keberadaan mereka menjadi salah satu kekuatan yang selalu dipertimbangkan oleh berbagai kelompok kepentingan (interest group) terutama pengambil kebijakan, yakni negara. Diantara elemen-elemen gerakan mahasiswa yang memiliki pengaruh signifikan adalah gerakan mahasiswa Islam. Mereka adalah organisasi massa (ormas) mahasiswa yang memiliki basis konstituen yang jelas dan massa pendukung yang besar seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Dipo, HMI MPO, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).
Pada sisi lain, tak bisa dipungkiri bahwa gerakan mahasiswa mengalami polarisasi dalam entitas dan kelompok-kelompok tertentu yang berbeda, bahkan acapkali bertentangan satu sama lain. Hal ini terjadi karena beberapa faktor yang melingkupinya, seperti perbedaan ideologi, strategi dan lainnya.

Dalam konteks ini, upaya memahami ideologi gerakan mahasiswa merupakan hal yang sangat penting.  Apabila ditelisik, persoalan ideologi merupakan pusat kajian ilmu sosial. Namun hingga kini, kajian tentang ideologi khususnya dalam ranah ilmu-ilmu sosial sangat minim. Apalagi ideologi dalam konsteks gerakan mahasiswa.  Maka, permasalahan yang akan dikaji selanjutnya adalah apa dan bagaimanakah ideologi gerakan mahasiswa Islam di Indonesia?

Ideologi Dalam Keterbatasan Akar Konseptual

Menurut Frans Magnis Suseno, ideologi dimaksud sebagai keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan  sikap dasar rohaniah sebuah gerakan, kelompok sosial atau individu.  Ideologi dapat dimengerti sebagai suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial, sejarahnya dan proyeksinya ke masa depan serta merasionalisasikan suatu bentuk hubungan kekuasaaan.  Dengan demikian, ideologi memiliki fungsi mempolakan, mengkonsolidasikan dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat.  Ideologi yang dianutlah yang pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang memandang sebuah persoalan dan harus berbuat apa untuk mensikapi persoalan tersebut.  Dalam konteks inilah kajian ideologi menjadi sangat penting, namun seringkali diabaikan. 

Istilah ideologi adalah istilah yang seringkali dipergunakan terutama dalam ilmu-ilmu sosial, akan tetapi juga istilah yang sangat tidak jelas.  Banyak para ahli yang melihat ketidakjelasan ini berawal dari rumitnya konsep ideologi itu sendiri.  Ideologi dalam pengertian yang paling umum dan paling dangkal biasanya diartikan sebagai istilah mengenai sistem nilai, ide, moralitas, interpretasi dunia dan lainnya.
Menurut Antonio Gramsci, ideologi lebih dari sekedar sistem ide.  Bagi Gramsci, ideologi secara historis memiliki keabsahan yang bersifat psikologis. Artinya ideologi ‘mengatur’ manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka dan sebagainya.
Secara sederhana, Franz Magnis Suseno mengemukakan tiga kategorisasi ideologi.  Pertama, ideologi dalam arti penuh atau disebut juga ideologi tertutup. Ideologi dalam arti penuh berisi teori tentang hakekat realitas seluruhnya, yaitu merupakan sebuah teori metafisika. Kemudian selanjutnya berisi teori tentang makna sejarah yang memuat tujuan dan norma-norma politik sosial tentang bagaimana suatu masyarakat harus di tata.  Ideologi dalam arti penuh melegitimasi monopoli elit penguasa di atas masyarakat, isinya tidak boleh dipertanyakan lagi, bersifat dogmatis dan apriori dalam arti ideologi itu tidak dapat dikembangkan berdasarkan pengalaman.  Salah satu ciri khas ideologi semacam ini adalah klaim atas kebenaran yang tidak boleh diragukan dengan hak menuntut adanya ketaatan mutlak tanpa reserve.  Dalam kaitan ini Franz Magnis-Suseno mencontohkan ideologi Marxisme-Leninisme.
Kedua, ideologi dalam arti terbuka.  Artinya ideologi yang menyuguhkan kerangka orientasi dasar, sedangkan dalam operasional keseharianya akan selalu berkembang disesuaikan dengan norma, prinsip moral dan cita-cita masyarakat.  Operasionalisasi dalam praktek kehidupan masyarakat tidak dapat ditentukan secara apriori melainkan harus disepakati secara demokratis sebagai bentuk cita-cita bersama.  Dengan demikian ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai untuk melegitimasi kekuasaan sekelompok orang.
Ketiga, Ideologi dalam arti implisit atau tersirat.  Ideologi semacam ini ditemukan dalam keyakinan-keyakinan masyarakat tradisional tentang hakekat realitas dan bagaimana manusia harus hidup didalamnya. Meskipun keyakinan itu hanya implisit saja, tidak dirumuskan dan tidak diajarkan namun cita-cita dan keyakinan itu sering berdimensi ideologis, karena mendukung tatanan sosial yang ada dan melegitimasi struktur non demokratis tertentu seperti kekuasaan suatu kelas sosial terhadap kelas sosial yang lain.
Dari beberapa fungsi tersebut, terlihat bahwa pengaruh ideologi terhadap perilaku kehidupan sosial berkaitan erat.  Memahami format sosial politik suatu masyarakat akan sulit dilakukan tanpa lebih dahulu memahami ideologi yang ada dalam masyarakat tersebut.  Dari sinilah terlihat betapa ideologi merupakan perangkat mendasar dan merupakan salah satu unsur yang akan mewarnai aktivitas sosial dan politik.

Sepintas Gerakan Mahasiswa Islam di Indonesia

Dalam sejarah perjalanan bangsa pasca kemerdekaan Indonesia, mahasiswa merupakan salah satu kekuatan pelopor di setiap perubahan.  Tumbangnya Orde Lama tahun 1966, Peristiwa  Lima Belas Januari (MALARI) tahun 1974, dan terakhir pada runtuhnya Orde baru tahun 1998 adalah tonggak sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia.  Sepanjang itu pula mahasiswa telah berhasil mengambil peran yang signifikan dengan terus menggelorakan energi “perlawanan” dan bersikap kritis membela kebenaran dan keadilan.
Menurut Arbi Sanit, ada lima sebab yang menjadikan mahasiswa peka dengan permasalahan kemasyarakatan sehingga mendorong mereka untuk melakukan perubahan.  Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai pandangan luas untuk dapat bergerak di antara semua lapisan masyarakat.  Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara angkatan muda.  Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik melalui akulturasi sosial budaya yang tinggi diantara mereka.  Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas susunan kekuasaan, struktur ekonomi, dan akan memiliki kelebihan tertentu dalam masyarakat, dengan kata lain adalah kelompok elit di kalangan kaum muda. Kelima, seringnya mahasiswa terlibat dalam pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah masyarakat, memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya ke jenjang karier.
Disamping itu ada dua bentuk sumber daya yang dimiliki mahasiswa dan dijadikan energi pendorong gerakan mereka. Pertama, ialah Ilmu pengetahuan yang diperoleh baik melalui mimbar akademis atau melalui kelompok-kelompok diskusi dan kajian.  Kedua, sikap idealisme yang lazim menjadi ciri khas mahasiswa.  Kedua  potensi sumber daya tersebut ‘digodok’ tidak hanya melalui kegiatan akademis didalam kampus, tetapi juga lewat organisasi-organisasi ekstra universitas yang banyak terdapat di hampir semua perguruan tinggi.
Di Indonesia terdapat lima organisasi mahasiswa ekstra universitas atau sering dinamakan ormas mahasiswa, yang cukup menonjol, yaitu HMI Dipo (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), HMI MPO (Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi) dan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Kesemuanya menarik untuk dikaji karena sama-sama membawa label Islam sebagai identitas organisasinya, namun memiliki corak wacana dan strategi perjuangan yang khas.  Berikut sekilas perjalanan dari ormas mahasiswa Islam tersebut:
1.      Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Dipo
HMI lahir ditengah-tengah suasana revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan, yaitu pada 5 Februari 1947 di kota Yogyakarta. Lafran Pane dan kawan-kawan merasa prihatin dengan kondisi umat Islam saat itu yang terpecah-pecah dalam berbagai aliran keagamaan dan politik serta jurang kemiskinan dan kebodohan.  Oleh karena itu dibutuhkan langkah-langkah strategis untuk mengambil peranan dalam berbagai aspek kehidupan.  Kemudian didirikanlah wadah perkumpulan mahasiswa Islam yang memiliki potensi besar bagi terbinanya insan akademik, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah.
          Dalam perjalanannya, HMI telah banyak melahirkan kader-kader pemimpin bangsa.  Hampir di sepanjang pemerintahan Orde Baru selalu ada mantan kader HMI yang duduk di kabinet.  Hal ini tentunya tidak lepas dari peran signifikan HMI dalam keikutsertannya menumbangkan Orde Lama serta menegakkan Orde Baru.  Selain itu, sebagai ormas mahasiswa Islam yang independen dan bergerak dijalur intelektual, tidak jarang HMI melahirkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia.  Beberapa kader HMI bahkan sering melontarkan wacana pemikiran Islam yang mengundang kontroversi.  Misalnya saja wacana sekulerisasi agama yang diungkapkan Nurcholish Madjid melalui slogannya yang terkenal “Islam Yes, Partai Islam No!.” 
2.      Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia pada tanggal 17 April 1960 di Surabaya mendirikan sebuah organisasi sebagai wadah pergerakan angkatan mudanya dari kalangan mahasiswa yakni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).  Pada perkembangannya di awal tahun 1970-an PMII secara struktural menyatakan diri sebagai organisasi independen, terlepas dari ormas apa pun, termasuk dari sang induknya, NU. Pada masa pergerakan mahasiswa 1998, menjelang peristiwa jatuhnya Soeharto, PMII bersama kaum muda NU lainnya telah bergabung dengan elemen gerakan mahasiswa untuk mendukung digelarnya people’s power dalam menumbangkan rezim Soeharto.  Sikap ini telah jauh mendahului sikap resmi kiai senior NU yang lebih konservatif yakni senantiasa menjaga kedekatan dengan pusat kekuasaan untuk membela kepentingan pesantren.  Di jalur intelektual PMII banyak mengembangkan dan mengapresiasikan gagasan-gagasan baru, misalnya mengenai hak asasi manusia, gender, demokrasi dan lingkungan hidup.
3.      Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
Ketika situasi nasional mengarah pada demokrasi terpimpin yang penuh gejolak politik di tahun 1960-an, dan perkembangan dunia kemahasiswaan yang terkotak-kotak dalam bingkai politik dengan meninggalkan arah pembinaan intelektual, beberapa tokoh angkatan muda Muhammadiyah seperti Muhammad Djaman Alkirdi, Rosyad Soleh, Amin Rais dan kawan-kawan memelopori berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Yogyakarta pada tanggal 14 Maret 1964.
          Sebagai organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah sifat dan gerakan IMM sama dengan Muhammadiyah yakni sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar.  Ide dasar gerakan IMM adalah; Pertama, Vision, yakni membangun tradisi intelektual dan wacana pemikiran melalui intelectual enlightement (pencerahan intelektual) dan intelectual enrichment (pengkayaan intelektual).  Strategi pendekatan yang digunakan IMM ialah melalui pemaksimalan potensi kesadaran dan penyadaran individu yang memungkinkan terciptanya komunitas ilmiah.
          Kedua, Value, ialah usaha untuk mempertajam hati nurani melalui penanaman nilai-nilai moral agama sehingga terbangun pemikiran dan konseptual yang mendapatkan pembenaran dari Al Qur’an.  Ketiga, Courage atau keberanian dalam melakukan aktualisasi program, misalnya dalam melakukan advokasi terhadap permasalahan masyarakat dan keberpihakan ikatan dalam pemberdayaan umat
4.      Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO)
Kebijakan pemerintah memberlakukan asas tunggal Pancasila sebagai satu-satunya dasar ormas mendapat tantangan yang cukup beragam dari kalangan umat Islam. Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) sebagai organisasi pecahan/faksi dari HMI yang disebutkan sebelumnya, terlahir akibat konflik berkepanjangan dalam menyikapi penerimaan asas tunggal tersebut.  PB (Pengurus Besar) HMI melalui jumpa pers pada 10 April 1985 di Yogyakarta mengumumkan tentang penerimaan asas Pancasila oleh HMI.  Sikap ini dinilai sebagian cabang seperti Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Ujungpandang, Purwokerto sebagai kesalahan besar PB HMI karena tidak melalui forum kongres.  Konflik tersebut berujung pada munculnya perlawanan dari cabang-cabang yang kemudian melahirkan HMI MPO pada 15 Maret 1986 di Jakarta, sebagaimana tercantum dalam buku Berkas Putih yang terbit 10 Agustus 1986
          Setelah beberapa tahun HMI MPO lebih banyak melakukan aktifitas gerakannya secara sembunyi-sembunyi, pada tahun 1990-an ketika pemerintah mulai menjalin hubungan baik dengan Islam, HMI MPO mulai nampak kembali kepermukaan.  Di beberapa daerah yang merupakan basis HMI MPO seperti Yogyakarta, Bandung, Ujungpandang dan Purwokerto kader-kader mereka cenderung radikal dan lebih militan.  Pada kenyataannya represi negara justeru membuat HMI MPO menjadi lebih matang dan kuat.
          HMI MPO sendiri sedikit mengalami pergeseran, jika pada awalnya gerakan mereka cenderung fundamentalis dan eksklusif.  Pada akhirnya mereka mulai terbuka dengan memperluas cakrawala pengetahuan sehingga mampu menyesuaikan diri dengan perubahan.  Tidak heran jika banyak yang menilai HMI MPO sebagai organisasi Islam yang lebih modernis saat ini.
5.      Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
KAMMI terbentuk dalam rangkaian acara FS LDK (Forum Sillaturahmi Lembaga Da’wah Kampus) Nasional X di Universitas Muhammadiyah Malang tanggal 25-29 Maret 1998.  Setidaknya ada dua alasan terbentuknya KAMMI, pertama, sebagai ekspresi keprihatian mendalam dan tanggung jawab moral atas krisis dan penderitaan rakyat yang melanda Indonesia serta itikad baik untuk berperan aktif dalam proses perubahan.  Kedua, untuk membangun kekuatan yang dapat berfungsi sebagai peace power untuk melakukan tekanan moral kepada pemerintah.
          Selanjutnya bersama elemen gerakan mahasiswa lainnya, KAMMI melakukan tekanan terhadap pemerintahan Orde Baru melalui gerakan massa.  Dalam pandangan KAMMI, krisis yang terjadi saat itu adalah menjadi tanggung jawab pemimpin dan pemerintah Indonesia sebagai pengemban amanah rakyat.  Karena itu untuk memulai proses perubahan tersebut mesti diawali dengan adanya pergantian kekuasaan.  Rezim Orde Baru dengan segala macam kebobrokannya, harus diganti dengan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
          Setelah tidak kuat menahan desakan rakyat, akhirnya Soeharto dengan terpaksa meletakkan jabatannya.  Namun bagi KAMMI, proses reformasi di Indonesia belumlah selesai, masih membutuhkan proses yang panjang.  Lewat Muktamar Nasional KAMMI yang pertama, 1-4 Oktober 1998, KAMMI memutuskan diri berubah dari organ gerakan menjadi ormas mahasiswa Islam.  Peran utamanya adalah untuk menjadi pelopor, pemercepat dan perekat gerakan pro-reformasi.
Mahasiswa Islam dalam Pergulatan Teologis
Sejak awal berdirinya, sebagian ormas mahasiswa Islam ada yang terlahir dari kelompok sosial keagamaan dengan identitas yang jelas.  Misalnya saja IMM yang terang-terangan mengusung nama Muhammadiyah, dan PMII meski secara struktural independen, namun masih memiliki ikatan kultural yang erat dengan NU.  Sedangkan ormas mahasiswa Islam yang lain, HMI Dipo, HMI MPO dan KAMMI, tidak secara jelas membawa identitas kelompok keagamaan tertentu, malah mereka cenderung menjadi kelompok keagamaan tersendiri.  Dari sini kemudian berkembanglah corak wacana dan strategi perjuangan yang berbeda-beda.  Perbedaan ini muncul akibat beragamnya metode pendekatan teologis, sebagai basis ideologi yang mereka bangun.
Kebebasan berpikir yang telah menjadi kultur sehari-hari di dunia akademis, telah mengundang sebagian besar mahasiswa Islam untuk merumuskan kembali paradigma teologi yang telah ada.  Hampir semua sepakat bahwa paradigma teologi umat Islam saat ini merupakan hasil formulasi ulama klasik.  Meski mengalami pembaharuan beberapa kali, tapi tidak banyak perubahan mendasar dalam paradigma teologi itu.  Terlebih lagi tuntutan perubahan mengharuskan umat Islam menyusun kembali paradigma yang baru.
Pemikiran teologi dalam masyarakat Islam bersumber dari ajaran aqidah yang dijelaskan dalam Al Qur’an dengan inti kepercayaan pengesaan Tuhan (tauhid) dan pengakuan atas kerasulan Muhammmad (Muhammad Rasulullah).  Pemikiran teologi tentang Allah merupakan sebuah keyakinan terhadap adanya realitas transedental yang tunggal dan menuntut adanya aplikasi ketaatan pada tataran aksi.  Oleh karenanya wujud nyata dari perilaku dan kepribadian umat Islam merupakan cerminan yang tidak dapat dipisahkan dari landasan teologisnya.
Dalam melakukan telaah keagamaan, mahasiswa Islam mengadopsi beberapa pemikir-pemikir Islam kontemporer, baik tokoh pemikiran Islam di Indonesia seperti Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat dan lainnya, sampai tokoh dunia Islam yang cukup berpengaruh saat ini, diantaranya Hassan Hanafi, Mohammad Arkoun, Yusuf Qardlawi, M. Abed Aljabiri, Fazlur Rahman dan  masih banyak lagi.  Ketajaman analisis dan disiplin dalam mempergunakan metode, membuat para tokoh tersebut dikagumi banyak kalangan mahasiswa Islam.  Sampai kemudian pemikiran mereka menjadi referensi utama bagi gerakan mahasiswa Islam, bahkan tidak jarang dikritisi dan dianalisis secara mendalam.
Di Indonesia sendiri, Fachry Ali dan Bahtiar Effendy menyatakan tentang tipologi gerakan intelektualisme Islam neo-modernisme.  Gerakan pemikiran neo-modernisme merupakan gerakan pemikiran Islam yang muncul di Indonesia sekitar tahun 1970-an. Gerakan ini lahir dari tradisi modernisme Islam yang terdahulu dan telah cukup mapan di Indonesia.  Akan tetapi ia memakai pendekatan yang lebih khas dari sisi konsepsi maupun aplikasi ide-ide.
Nurcholish Madjid merupakan tokoh gerakan intelektual ini.  Dengan cerdas ia memadukan cita-cita liberal dan progresif dengan keimanan yang saleh.  Melalui konsep rasionalitas, Cak Nur, sapaan akrabnya, menyatakan arti pentingnya untuk menelusuri dan memahami pengetahuan manusia yang relatif dan terbatas.  Hal ini menyangkut persoalan hubungan kedudukan antara agama dan akal yang telah lama menjadi bahan perdebatan para teolog sejak dulu.  Karena pengetahuan manusia yang terbatas itulah maka kebenaran yang bersifat mutlak tidak dapat dicapai oleh manusia.
Selanjutnya Cak Nur menawarkan satu bentuk teologi inklusif, dimana inti ketajaman teologi ini adalah kesadaran teologis yang mensyaratkan adanya ruang kebebasan berpikir sebagai wujud komitmen ketauhidan seseorang.  Ruang kebebasan inilah yang menjadi substansi bagi pembaharuan dan kemajuan dalam Islam.  Sikap keterbukaan untuk mau menerima kebenaran dan perbedaan dari orang lain.
HMI Dipo telah menjadikan pemikiran neo-modernisme ini sebagai referensi utama bagi pemahaman teologinya.  Lewat pemikiran-pemikiran Cak Nur yang juga mantan ketua PB HMI inilah konsep Islam Keindonesiaan ditawarkan oleh kader-kader HMI. 
Lain halnya dengan PMII, ormas mahasiswa Islam ini lebih mengembangkan teologi yang lebih radikal bila dipandang oleh sebagian besar umat Islam pada umumnya.  Pada mulanya PMII memakai doktrin teologi Aswaja (ahlussunnah wal jama’ah) sebagi doktrin resmi yang dipakai NU dan masyarakat Islam Indonesia pada umumnya.  Doktrin teologi Aswaja lebih banyak berbicara mengenai takdir manusia yang telah ditentukan Allah, dan kedudukan manusia sebagai makhluk.  Namun akhir-akhir ini tradisi kritik yang berkembang di PMII tidak hanya menggugat kemapanan (status quo) struktur sosial, ekonomi dan politik yang ada, tapi termasuk doktrin teologi Aswaja.  PMII dengan berani menggulirkan perlunya pembacaan kembali konsep Aswaja tersebut
Dewasa ini terdapat loncatan perubahan yang cukup menyolok dikalangan kader-kader PMII.  Sebagai angkatan muda NU, mereka sebagian besar berasal dari kalangan tradisional, kelompok masyarakat yang sering diidentikkan dengan konservatifisme sosial lewat apresiasi yang rendah terhadap hal-hal baru.  Mereka juga dikenal dengan keterbelakangan kultural  karena orientasi hidup mereka dipercayai hanya sebatas penerapan dan pemeliharaan nilai-nilai lama yang teguh dipegangi dan diyakini.  Pandangan ini mulai bergeser ketika PMII kini memiliki pandangan intelektual yang lebih terbuka, peka dan peduli terhadap masalah keagamaan dan kehidupan sosial.  Konsekuensi dari keterbukaan ini bagi PMII adalah sikap menerima perbedaan, akomodatif, dan toleran.
Tradisi berpikir kritis terhadap segala macam bentuk kemapanan yang ada, telah membawa PMII untuk melakukan kajian terhadap kondisi kehidupan sosial, termasuk kebekuan-kebekuan yang dialami agama.  Doktrin-doktrin ajaran agama saat ini, menurut PMII, sudah tidak relevan lagi dengan perubahan jaman.  Karena ajaran agama yang ada telah tercerabut dari keaslian akar tradisi masyarakat.  Ajaran agama tidak tertanam dalam kesadaran masyarakat.  Untuk itu perlu dilakukan tafsir ulang terhadap doktrin-doktrin ajaran agama, bahkan sampai keakar-akarnya yaitu dimensi teologis. 
Pada tataran teologis PMII lebih memandang bahwa semua agama akan bermuara pada satu titik yang sama yakni Tuhan.  Terdapatnya agama-agama yang berbeda merupakan suatu bentuk keanekaragaman jalan atau cara yang mengandung makna kebenarannya sendiri-sendiri, dan keanekaragaman ini merupakan fitrah yang dikehendaki Tuhan.  Yang terpenting bagi agama saat ini  adalah harus membawa kemanfaatan nyata bagi kesejahteraan manusia.
Ahmad Baso, salah seorang senior di PB PMII mengungkapkan suatu gagasan mengenai kritik wacana agama.  Kritik agama Baso adalah Islam sebagai sistem kultur dan ideologi.  Titik perhatiannya diarahkan pada kritik  nalar atau cara-cara berpikir yang secara sistemik membentuk pola pikir penganutnya secara sadar maupun tidak sadar.  Lebih lanjut Baso mencontohkan kebekuan tradisi pembaharuan dalam pemikiran tokoh-tokohnya, baik itu pada diri Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, maupun dalam pemikiran Abdurrahman Wahid.  Makna “Islam Liberal” dalam pemikiran Nurcholish Madjid, hanya berhenti pada tingkat wacana.  Gagasan tersebut tidak bisa diterjemahkan secara praksis dalam kehidupan umat di lapisan bawah.
Berbeda lagi dengan IMM, ormas mahasiswa Islam yang satu ini tidak bisa lepas begitu saja dari pengaruh kultur yang ada di Muhammadiyah.  Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan, tentu saja tidak bisa lepas dari agama sebagai landasan teologis dalam berpikir, bertindak dan berinovasi.  Aspek teologis ini penting karena dari sinilah Muhammadiyah melancarkan purifikasi agama atau pemurnian tauhid dari segala bentuk praktek keagamaan yang berbau takhayyul, bid’ah dan khurafat.  Dengan langkah ini sebenarnya Muhammadiyah ingin melangkah ke arah praksis, yaitu memperbaharui pola pikir umat yang lebih “membumi”, tidak mistis dan metafisis semata
Pada konteks historis, dulu pemahaman teologis semacam ini sangat hidup dan dinamis di Muhammadiyah, sehingga seringkali “gebrakan kultural” yang dilakukan Muhammadiyah cukup mengesankan.  Namun saat ini, citra  Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan dan Islam modernis telah memberikan “kepuasan” tersendiri yang secara tidak disadari telah “memanjakan” Muhammadiyah dalam kemapanan wacana keagamaannya.  Azyumardi Azrah mengkritik pemahaman keagamaan Muhammadiyah yang monolistik (salafiyah).  Padahal kecenderungan keagamaan masyarakat semakin pluralistik.  Menurut Azra, selama ini Ulama Muhammadiyah hanya dialokasikan  di tempat periferal dan marginal, yaitu di Majelis Tarjih, yang hanya menekuni dan menjawab persoalan-persoalan teknis hukum Islam (fiqhiyyah) untuk merespons perkembangan modern. Kalaupun ada di kalangan Muhammadiyah yang kritis terhadap pemerintah, itu biasanya muncul dari kalangan santri intelektual.  Jarang sekali yang dikenal sebagai Ulama melakukan fungsi kontrol.
Dengan demikian, Muhammadiyah telah mengalami kebekuan dalam mengkontruksi  wacana teologinya.  Muhammadiyyah terlalu disibukkan dengan aktivitas amal usahanya yang secara tidak langsung mendorong formalisasi agama. 
Kondisi semacam ini berimbas pada IMM secara langsung.  Krisis wacana yang dialami kader-kader IMM kemudian berakibat pada semakin banyaknya mereka yang menyibukkan diri di amal usaha Muhammadiyah.  Meski begitu, tetap saja ada kelompok minoritas kreatif yang tekun melakukan rekontruksi wacana teologi serta relevansinya dengan tantangan umat Islam dan Bangsa Indonesia saat ini.  Salah satunya adalah Fajar Riza Ul Haq kader muda Ketua Pimpinan Cabang IMM Sukoharjo.  Fajar dengan fasih berbicara tentang kelemahan teologi inklusifnya Nurcholish Madjid yang berhenti pada tataran wacana tidak membumi dalam bentuk praksis pembebasan.  Mengutip Farid Esack, tokoh Islam Afrika Selatan, Fajar menyatakan perlunya menggeser teologi inklusif kearah teologi pluralis yang liberatif terhadap kaum tertindas.  Bangunan epistimologi teologi pluralis adalah meyakini setiap agama mempunyai jalan keselamatan sendiri-sendiri, jadi menghargai pluralitas teologi agama-agama.  Sayangnya wacana ini belum berkembang di sebagian besar pemikir-pemikir Muhammadiyah.
Sedangkan di HMI MPO, sebagaimana telah sedikit disinggung di awal, ormas mahasiswa Islam ini mengalami pergeseran cukup drastis.  Semula gerakan HMI MPO bersifat eksklusif, konsisten dengan keislamannya, maka semua aktivitasnya harus diukur dengan parameter Islam.  Namun akhir-akhir ini HMI MPO cenderung terbuka dan menyerahkan pemahaman teologis terhadap pluralitas anggotanya. 
Dari penjelasan tersebut, terlihat tidak adanya keseragaman pemahanan teologis di HMI MPO.  Tidak aneh jika ekspresi keagamaan dari masing-masing kader nampak berbeda. Ada kader yang sangat kental dengan nuansa religiusnya, tidak sedikit pula kader yang tampil lebih moderat, bahkan cenderung ‘liar’ dan semaunya sendiri.  Pemandangan semacam ini mudah dijumpai pada kader-kader HMI MPO.
KAMMI yang dilahirkan oleh para aktivis Lembaga Dakwah Kampus memiliki corak pergerakan yang khas.  Jaringan mereka sangat luas dan telah ada hampir diseluruh Perguruan Tinggi di Indonesia.  Tidak mengherankan jika pada usia yang masih muda KAMMI di puji banyak kalangan sebagai ormas mahasiswa Islam tersolid saat ini.  Kehadiran massa dalam jumlah besar di setiap aksinya, memperkuat daya tekan KAMMI dalam mendukung gerakan reformasi.
Pada tataran teologis KAMMI memiliki doktrin pemahaman yang cukup kuat bahwa Islam sebagai suatu sistem yang total (kaffah) merupakan solusi terbaik dalam menjawab tantangan kemanusian.  Bagi KAMMI, Islam tidak hanya berbicara mengenai pribadi individu, tapi Islam juga mengatur juga tentang hubungan sosial.  Karena itu kemenangan Islam dalam keyakinan KAMMI adalah suatu keniscayaan. Tradisi pendekatan wacana yang berkembang di KAMMI adalah upaya pencarian keabsahannya gerakannya melalui teks-teks suci.  Hampir di setiap kali muncul wacana pemikiran KAMMI akan selalu diikuti sumber pembenarannya dari teks Al Qur’an dan Hadits.  Pembacaan terhadap teks-teks suci tersebut telah memberikan semangat juang (ghiroh) tersendiri bagi KAMMI.  Pada akhirnya, kontekstualisasi teks dengan realitas sosial sekarang mendorong KAMMI berkiprah lebih banyak di bidang pelayanan sosial, pendidikan politik, dan advokasi umat.



Ekspresi Politik Gerakan Mahasiswa Islam

Untuk mengetahui ekspresi atau sikap gerakan mahasiswa Islam terhadap kondisi sosial politik yang berlangsung, tidak bisa dilepaskan dari tesis Clifford Geertz tentang politik aliran.  Aliran menurut Clifford Geertz ditandai oleh beberapa ciri.  Pertama, aliran adalah suatu gerakan sosial yang kemudian mengalami kristalisasi menjadi pengelompokan politik.  Kedua, walaupun suatu aliran didefinisikan secara ideologis, namun biasanya ia dijiwai oleh cita-cita moral yang lebih luas.  Ketiga, walaupun mengalami kristalisasi menjadi suatu pengelompokan politik, sebuah aliran biasanya  dikelilingi oleh sebuah organisasi sukarela yang terikat secara resmi maupun tidak resmi dengan pengelompokan politik  yang menjadi pusatnya. 
Tipologi Geertz ini kemudian dikembangkan oleh Herbeth Feith dan Lance Castle yang membagi pemikiran politik Indonesia waktu itu ke dalam lima golongan: marxisme, Sosialisme Demokrat, Nasionalisme Radikal, Islam (terdiri dari modernisme Islam dan tradisionalisme Islam) dan tradisionalisme Jawa.  Tipologi ini kemudian berkembang tidak hanya pada wilayah kultural tetapi juga wilayah politik yaitu mempengaruhi afiliasi pemilih waktu itu.    
Menurut Geertz, afiliasi pemilih juga berdasarkan pada pengelompokan budaya ini.  Kelompok santri kebanyakan berafiliasi ke NU dan Masyumi, abangan sebagian ke PKI, priyayi lebih banyak berafiliasi ke PNI.  Basis aliran ini kemudian berkembang menjadi ideologi politik aliran yaitu Islam, nasionalis, komunis dan sosialis meskipun kelompok terakhir jumlahnya sangat kecil.  Pemilu pertama tahun 1955 membuktikan dari sekian banyak partai yang muncul, empat partai besar sebagai pemenang dan semuanya mengambl tipologi Geertz sebagai basis ideologi mereka yaitu nasionalis diwakili PNI, Islam dengan Masyumi dan NU, Komunis dengan PKI dan Sosialis dengan PSI.
Perkembangan pemilu 1999 menunjukkan gejala yang hampir sama meskipun tidak seratus persen.  Bahkan ada kecenderungan pada sebagian partai untuk menghidupkan fenomena politik tahun 1955.  Ada sisi menarik dari dalam hal afiliasi politik yang sifatnya cenderung ideologis.  Suara NU dan PNI tidak mungkin beralih ke partai- partai yang identik dengan Masyumi (PBB, PK atau PAN) sementara suara Masyumi juga tidak beralih ke partai-partai yang identik dengan NU, PNI atau PKI (PDI P, PKB dan PRD).  Kecenderungan ideologis ini tidak lepas dari tubuh Islam yang terbagi dalam dua kutub: modernis dan tradisionalis.  NU mewakili tradisionalis dan Masyumi mewakili kutub modernis. 
Dua bentuk pemikiran ini selalu berbenturan dalam hampir semua hal termasuk dalam bidang syariah.  Kutub tradisionalis mengental dalam organisasi Nahdlotul Ulama, sementara Kutub modernis diwakili organisasi Muhammadiyah.  Muhammadiyah sendiri merupakan organisasi reformis yang kehadirannya dimaksudkan untuk menjernihkan keyakinan umat Islam dari berbagai bentuk takhyul, bid’ah dan khufarat.  Bagi Muhammadiyah, keyakinan umat telah banyak terkontaminasi dngan masuknya praktik peribadatan yang berbau Hindhu-Budha-Jawa. Sementara kelahiran NU salah satu latar belakangnya adalah untuk menyelamatkan tradisi.  Dalam hal ini, NU merasa keyakinannya dalam menjalankan ibadah terusik dengan hadirnya Muhammadiyah.  Dari sinilah muncul berbagai ketegangan dan bahkan konflik yang sampai sekarang ada.
Kondisi gerakan mahasiswa Islam saat ini juga terjebak dalam polarisasi dan fragmentasi yang tidak jauh berbeda dengan politik aliran Geertz, meski dalam beberapa hal mengalami beberapa metamorfose. Organisasi massa mahasiswa Islam lahir dengan dipayungi kelompok politik yang dominan waktu itu, atau sebagai underbow partai.   PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) lahir dari generasi muda NU (Nahdlatul Ulama), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) lahir dibidani kelompok Islam modernis Masyumi. Selanjutnya, IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) yang jelas berasal dari Muhammadiyah.  Sementara, keberadaan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) pada praktik politik selanjutnya juga tidak bisa dilepaskan dari PK (Partai Keadilan).
Pada tahap selanjutnya, polarisasi lebih tajam terlihat pada kalangan Islam modernis  yang diwakili HMI Dipo, HMI MPO, IMM dan KAMMI dengan kalangan Islam tradisionalis yang diwakili PMII.  Hal ini dapat dicermati lebih rinci terutama pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.  Beberapa waktu menjelang lengsernya Gus Dur dan pada awal-awal pemerintahan Megawati, terdapat friksi antar ormas Islam yang lebih disebabkan karena alasan ideologis.  Memang berkembang berbagai rumor di seputar pro dan kontra turunnya Gus Dur, seperti permasalahan kesehatan Gus Dur, kapabilitas managerial ataupun konstitusi.  Namun apabila ditelisik mendalam, turunnya Gus Dur semata terjadi karena konflik ideologis yang sekian lama terpendam.
Meskipun naiknya Gus Dur dengan bantuan poros tengah yang terdiri dari PPP, PAN, PBB, PK, namun aspirasi dan kepentingan kelompok poros tengah relatif diabaikan.  Apabila ditelurusi, tentu saja hal ini bukan hal yang baru.  NU atau dalam hal ini PKB jelas tidak mungkin berafiliasi dengan kelompok modernis terutama poros tengah.  NU lebih mudah bergandengan tangan dengan kalangan abangan seperti dengan PDI P. 
Fenomena yang sama juga terjadi pada ormas mahasiswa Islam.  PMII lebih mudah  bekerja sama dengan kelompok kiri dibandingkan dengan ormas Islam lainnya.  Hal seperti ini sering terjadi seperti pada waktu  pro kontra penurunan Gus Dur.  PMII bekerja sama dengan ormas kiri seperti PRD, PMKRI untuk mendukung atau pro Gus Dur tetap menjadi presiden.  Sementara, kelompok yang kontra Gus Dur seperti HMI Dipo, HMI MPO, IMM, dan KAMMI secara serentak, bersama menuntut Gus Dur mundur. Hal senada juga diungkapkan oleh kelompok modernis yang lain seperti HMI Dipo, HMI MPO, dan IMM. 
Pada dasarnya mereka sama-sama memiliki keyakinan bahwa kapasitas dan kapabilitas Megawati diragukan.  Sedangkan alasan lainnya adalah asumsi yang selama ini terbukti bahwa kekuasaan itu cenderung korup, sebagaimana adagium Lord Acton.  Sebagai organisasi yang independen, ormas Islam modernis lebih menitikberatkan perjuangannya pada kepentingan rakyat karena selama ini rakyat selalu berada dalam posisi yang tertindas padahal dalam konteks demokrasi, mereka adalah pemegang kekuasaan tertinggi.
Kesimpulan
Pemahaman terhadap teologi sebagai landasan filosofis berpengaruh pada tindakan politik sebagaimana tesis sosiologi pengetahuan, bahwa ada kaitan antara fikiran dan tindakan.  Selanjutnya, ideologi yang dianut oleh gerakan mahasiswa Islam ini terungkap dan diwujudkan lebih jelas pada ekspresi politik.
Gerakan mahasiswa Islam sebagai realitas sosial merupakan replika atau miniatur dari kondisi masyarakat Indonesia pada umumnya.  Polarisasi dan friksi yang terjadi pada ormas Islam ternyata memiliki akar kesejarahan yang cukup panjang.  Sampai saat ini, tipologi Clifford Geertz tentang santri, priyayi dan abangan masih kental pada masyarakat sekarang.
Ideologi gerakan mahasiswa Islam pada dasarnya adalah Islam.  Namun dalam perkembangan selanjutnya mengalami metamorfose seiring dengan perkembangan jaman.  Dengan memahami ideologi meraka, kita dapat membaca atau menganalisa akan ke mana mereka selanjutnya. 
Perbedaan merupakan sunatullah.  Perbedaan yang tercermin pada ekspresi politik aliran tidak perlu di permasalahkan dan menjadi sumber konflik.  Yang lebih penting adalah bagaimana seluruh umat menyadari dan memahami kenyataan bahwa perbedaan juga memperkaya sekaligus rahmat yang harus dijaga.  Dengan perbedaanlah akan tumbuh otensitas keimanan dalam hidup bermasyarakat karena benturan-benturan atau konflik yang terjadi dan upaya menyelesaikannya akan mendewasakan sekaligus menjadi pengalaman yang berharga.  Wallahu a’lam.
RUMAH SAKIT INSAN CITA ; UTOPISKAH ?
Oleh: Dr.Galih Endradita M. (Ketua Umum/Direktur Bakornas LKMI PB HMI).
“ Media pengembangan profesi kesehatan berbasis Pelayanan Medis yaitu Rumah Sakit ataupun Poliklinik merupakan hal yang realistis bagi kader kesehatan HMI, budaya pelayanan kesehatan yang dilakukan tentulah perlu diwadahi dalam sebuah kelembagaan kesehatan yang professional (GALIH)” “ Media pengembangan profesi kesehatan berbasis Pelayanan Medis yaitu Rumah Sakit ataupun Poliklinik merupakan hal yang realistis bagi kader kesehatan HMI, budaya pelayanan kesehatan yang dilakukan tentulah perlu diwadahi dalam sebuah kelembagaan kesehatan yang professional (GALIH)” Assalamualaikum, HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) merupakan organisasi berbasis kemahasiswaan tertua dan terbesar di Indonesia. Sejak didirikan oleh Lafran Pane, HMI telah melahirkan begitu banyak alumni yang tersebar di seluruh Indonesia dan merata pada hampir seluruh strata tatanan masyarakat. Kuantitas yang begitu besar, diimbangi oleh kualitas kader yang begitu baik, menunjukkan sebuah keseimbangan organisasi yang mapan, sampai hari ini, telah menyebar pada seluruh wilayah Indonesia dan merambah semua pusat kemahasiswaan baik Perguruan Tinggi Negeri dan Perguruan Tinggi Swasta.
Kelembagaan HMI yang mengusung idealisme gerakan kemahasiswaan dan kepemudaan memiliki sayap gerakan yaitu lembaga pengembangan profesi. Lembaga Pengembangan Profesi (LPP) merupakan lembaga untuk mempersiapkan kader HMI menjadi professional pada lapangan studi kader. Terdapat banyak LPP sebut saja LKMI (Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam), LTMI (Lembaga Tehnologi Mahasiswa Islam), LDMI (Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam), LAPMI (Lembaga Pers Mahasiswa Islam) dan LPP lain sesuai dengan keseminatan profesi yang dimiliki kader. LPP pada tingkatan Pengurus Besar atau dikenal dengan Bakornas (Badan Koordinasi Nasional) bersinergis dengan Pengurus Besar HMI, pada tingkatan cabang juga bersinergis dengan struktur HMI setingkat. Sebagai sayap pengembangan profesi, LPP kerap bersinggungan dengan profesi secara umum. Pada wilayah kesehatan Bakornas LKMI dan LKMI HMI Cabang akan menjalin kemitraan dengan lembaga kesehatan baik formal dan Informal. LPP Bakornas LKMI PB HMI dan LKMI HMI Cabang terbentuk dari keseminatan profesi kesehatan dengan sumber daya mahasiswa kedokteran, kedokteran gigi, farmasi, kesehatan masyarakat dan keperawatan. Modalitas kader kesehatan yang pada akhirnya menjadi profesi dokter, dokter gigi, apoteker dan lainnya mempunyai nilai plus tersendiri bagi institusi HMI. Pada tataran praxis HMI menjadi begitu mudah melakukan kegiatan social baik bakti social pengobatan massal, khitanan massal, bahkan penanggulangan dampak bencana alam. Fase kemahasiswaan kader HMI secara umum dan kader LKMI secara khusus pada akhirnya akan selesai, seorang kader akan menapaki jenjang profesi yaitu kesehatan (dokter, dokter gigi, apoteker dan kesmas) dan bekerja sebagai professional. Beberapa LKMI HMI Cabang seperti LKMI HMI Cabang Surabaya, Malang, Solo dan Semarang mencoba menangkap konstruksi ini dalam bentuk pelayanan kesehatan seperti Rumah Sakit Bersalin, Unit Gawat Darurat dan Poliklinik kecil. Bagaimanapun konstruksi LKMI HMI Cabang, mereka mencoba menangkap modalitas dokter ataupun dokter gigi sebagai sarana pengkaderan dan profit bagi kelembagaan LKMI. Hanya saja, modalitas ini hasil kerjasama antara LKMI HMI Cabang dengan institusi eksternal semisal ; Rumah Sakit Islam dan Rumah Sakit Muhammadiyah (Surabaya dan Malang), Yayasan Sosial (Solo dan Semarang), hubungan kerjasama ini sebagai keniscayaan karena LKMI HMI meluluskan tenaga dokter dan dokter gigi plus (telah terdidik managemen dan organisasi), notabene keunggulan ini jarang dimiliki oleh dokter atau dokter gigi lain. Potensi ini kita sadari atau tidak, inilah potensi yang kita miliki dan dapat digerakkan menjadi sebuah jaringan kesehatan yang luas. Kajian internal Bakornas LKMI PB HMI menguatkan pendapat bagaimana mengubah potensi ini menjadi kekuatan luar biasa yang menggerakkan organisasi LKMI dan HMI secara umum. Masih jelas dalam ingatan kita, badai krisis ekonomi yang melanda bangsa pada tahun 1998 dimana struktur atau bangunan ekonomi mengalami kemunduran dan terpukul. Sector kesehatan tetap stabil seakan-akan tidak terpengaruh oleh krisis tersebut. Fenomena ini secara pelan dan pasti menyebabkan bisnis kesehatan menjadi sector primadona yang mengundang investor untuk masuk dan melakukan investasi. Bisnis kesehatan tetap stabil lebih dikarenakan bangunan kesehatan merupakan bangunan jasa yang demand –nya stabil. Sehingga investasi pada sector kesehatan, merupakan investasi yang cukup menarik. Mencoba kembali pada konteks LKMI, lembaga kesehatan professional berupa Rumah Sakit ataupun Poliklinik mempunyai nilai plus dalam beberapa kerangka dasar sebagai berikut
A. MEDIA PROMOSI KADER
Dinamika kemahasiswaan dalam beberapa kajian mengalami beberapa perubahan mendasar. Pada decade 80-an, mahasiswa begitu mudah untuk berbicara, dan bergerak secara massif dalam kontruksi idealisme organisasi kemahasiswaan. Namun, saat ini mengalami pergeseran. Komunitas mahasiswa lebih mudah digerakkan apabila organisasi berbicara bagaimana meningkatkan kapasitas akademis dan profesi, setelah itu baru kemudian dimensi organisasi secara managemen dan kepemimpinan diperkenalkan secara bertahap. Organisasi harus bisa membaca student college needed kemudian melakukan kaderisasi organisasi, bila ini dilakukan maka organisasi akan eksis, begitupun sebaliknya. Bagi HMI dan LKMI HMI hal ini tercetak tebal, segmentasi Rumah Sakit ataupun Poliklinik menjadi nilai plus dan menjadi daya tarik kader untuk bergabung dalam HMI.
B. MEDIA KADERISASI
Rumah Sakit ataupun Poliklinik dalam kelembagaan LKMI HMI merupakan miniature Rumah Sakit Pendidikan pada struktur Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi. Konteks rumah sakit pendidikan merupakan media kegiatan pembelajaran ketrampilan medik dan human relations. Ketika HMI menyebut dirinya sebagai second university tidak berlebihan bila kita menyebut LKMI sebagai second teaching hospital dimana LKMI secara kelembagaan dapat memberikan nilai plus pendidikan profesi. Keutamaan ini yang kemudian akan membedakan HMI dengan organ kemahasiswaan lain, metodelogi yang akan menjaga arus kaderisasi dalam tubuh HMI dan LKMI secara khusus.
C. MEDIA PROFIT ORGANISASI
Sektor kesehatan secara makro merupakan sector yang menjanjikan, ketahanan menghadapi fluktualitas ekonomi menjadikan sector ini banyak diminati pemilik modal. Ketika kita jabarkan pada tataran LKMI, maka poliklinik ataupun Rumah Sakit dapat memberikan income bagi organisasi, sehingga pendanaan organisasi akan selesai. Kita ketahui bersama, hari ini pendanaan HMI lebih pada sumbangsih yang tulus dari Alumni HMI dan bantuan swasta. Bila di analisa secara detail, akan muncul kesimpulan bahwasanya HMI bukanlah organisasi yang mandiri secara financial, sedangkan kemandirian financial merupakan ciri organisasi yang mapan . Apology bahwasanya beginilah realitas organisasi kemahasiswaan harus kita dekontruksi kembali, karena bagaimana kita mengharapkan HMI dapat menjadi harimau yang dengan idealisme menerkam dan menerjang apabila ia tidak memiliki kemandirian dalam anggaran pembelajaan organisasi. Sektor kesehatan memberikan sebuah alternative solusi untuk menjawab permasalahan ini.
D. MEDIA PENGABDIAN MASYARAKAT
Mahasiswa pada hakikatnya mempunyai 2 dimensi, ibarat mata uang ia tidak terpisahkan. Dimensi akademik dan profesi yang pragmatis pada satu sisi, dan dimensi organisasi kepemimpinan yang idealisme pada sisi lain. Terima kasih yang tak terhingga saat founding father HMI menangkap dimensi ini dengan dilahirkannya lembaga kekaryaan atau lembaga pengembangan profesi. Secara ideal diharapkan terdapat sebuah keseimbangan antara retorika utopis wacana dan tataran aksi pengabdian kepada masyarakat. meminjam istilah “berfikir tentang langit, tetapi kaki tetap menginjak tanah” Permasalahan kebangsaan hari ini tidak bisa kita selesaikan dalam kerangka wacana dan konseptual semata, perlu langkah-langkah pendampingan membumi untuk bersama masyarakat membangun kemandirian. Apabila organisasi mempunyai keseimbangan antara keduanya maka kinerja organisasi akan lebih didengarkan, HMI melalui LPP mempunyai potensi menetapkan keseimbangan ini.

E. MEDIA SILATURAHMI DAN JARINGAN KESEHATAN
Jaringan kesehatan hakikatnya adalah jaringan alumni professional pada konteks kesehatan. Jaringan alumni merupakan media silaturahmi, mengangkat harkat dan martabat saudara kita. Istilah saling berpegangan erat, melindungi satu sama lain merupakan makna persaudaraan diantara kita saudara muslim dan diantara kita saudara HMI. Bangunan silaturahmi ini merupakan bentuk soliditas yang menjadi modal utama saat kader HMI menapaki langkah pasca dunia kemahasiswaan. hubungan pribadi dalam organisasi merupakan embrio hubungan bisnis yang saling menguntungkan pada kemudiaan hari. Jaringan kesehatan pada tataran LKMI tersirat dari bisnis kesehatan yang kita kembangkan, terutama bagaimana kita menampung kader profesi kesehatan sehingga alih alih digunakan dan diperkerjakan oleh institusi lain, mengapa tidak kita mintai bantuan untuk mengembangkan centre kesehatan yang kita miliki. Media pengembangan profesi kesehatan berbasis Pelayanan Medis yaitu Rumah Sakit ataupun Poliklinik merupakan hal yang realistis bagi kader kesehatan HMI, budaya pelayanan kesehatan yang dilakukan tentulah perlu diwadahi dalam sebuah kelembagaan kesehatan yang professional. Tentunya sebuah Rumah Sakit Insan Cita bukanlah sebuah mimpi yang utopis, tetapi kenyataan yang tertunda. Kapan kah itu terjadi, semoga Allah SWT meridhoi langkah kita. Amin (GALIH) Billahittaufiq wal hidayah,
Wassalamualaikum Wr Wb

Gerakan Mahasiswa dan Wacana Demokrasi. (SALMAN AL-FARISI)
Masihkah Berharap Pada Demokrasi? Ketika kita mencoba melakukan survei tentang istilah yang paling populer saat ini, maka kata demokrasi akan berada pada peringkat teratas. Sebagai sebuah ide, demokrasi telah terlanjur menjadi maskot yang disakralkan; sebagai sebuah wacana, demokrasi sejak kelahirannya telah dianggap sebagai berkah bagi kehidupan; begitu pula sebagai sebuah sistem, demokrasi telah mendorong manusia untuk berusaha mewujudkannya. Masihkah Berharap Pada Demokrasi? Ketika kita mencoba melakukan survei tentang istilah yang paling populer saat ini, maka kata demokrasi akan berada pada peringkat teratas. Sebagai sebuah ide, demokrasi telah terlanjur menjadi maskot yang disakralkan; sebagai sebuah wacana, demokrasi sejak kelahirannya telah dianggap sebagai berkah bagi kehidupan; begitu pula sebagai sebuah sistem, demokrasi telah mendorong manusia untuk berusaha mewujudkannya. Apakah benar bahwa ide ini akan menjadi solusi atas persoalan dunia saat ini sehingga harus diperjuangkan? Apakah benar bahwa demokrasi memberikan kebaikan untuk manusia atau malah sebaliknya? Sebelum membicarakan lebih jauh tentang demokrasi, perlu kiranya kita menjernihkan pemahaman dan menetapkan suatu frame yang benar dalam memaknai suatu istilah. Ini penting agar kita tidak terjebak oleh anakronisme, yaitu pembacaan atas sebuah pemikiran dengan mengambil tafsiran-tafsiran yang berasal dari luar konteks historisnya (Ahmad Baso, 1999). Karena dari kesalahan pada tataran ini bisa melahirkan pemahaman tentang demokrasi yang destruktif, yang tentu berpengaruh buat kita dalam memberikan apresiasi yang obyektif. Apalagi memang demokrasi sebagai sebuah idiom memang memiliki nilai sosial historis dan makna terminologi tertentu. Demokrasi adalah suatu ide yang memiliki latar belakang historis yang unik, yakni di Eropa pada abad 1350 M -1600 M (walaupun jauh – jauh sebelumnya sekitar abad 6 - 3 SM telah dikenal sistem demokrasi langsung di Yunani). Pada saat itu terjadi pergolakan yang melibatkan para penguasa di Eropa yang mengklaim bahwa penguasa adalah wakil Tuhan di muka bumi dan berhak memerintah rakyat berdasarkan kekuasaannya. Kekuasaan penguasa menjadi lebih terjaga ketika para kaum agamawan, dalam hal ini pendeta-pendeta menjadi corong penguasa sekaligus menjadi alat legitimasi setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa. Akibatnya, penguasa menjadi pihak yang absolut dan tidak terkendali sehingga terjadi kesewenang-wenangan dan kezaliman terhadap rakyat. Untuk menutupi kesalahannya, penguasa juga telah menutup gerak para ilmuwan yang berusaha menyuarakan pertentangannya dengan pendapat penguasa dan kaum gerejawan (contoh kasus; dipenggalnya Galileo Galilei). Sampai pada titik yang tidak bisa lagi ditolerir, akhirnya muncul kekuatan dari poros lain yang dimotori oleh para filosof dan ilmuwan yang berusaha untuk merubah keadaan. Mereka mulai membahas tentang perlunya pemerintahan yang dikendalikan oleh rakyat. Bukan pemerintahan yang diatur atas nama agama ataupun Tuhan. Namun karena seimbangnya kekuatan kedua kubu sehingga yang lahir adalah kompromistik yang juga melatarbelakangi kelahiran faham sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan. Agama hanya ditempatkan sebagai bentuk ritual manusia dengan Tuhan sedang untuk kehidupan diatur sepenuhnya oleh manusia. Otomatis karena kekosongan aturan ditengah manusia maka lahirlah ide Demokrasi ini. Dalam negara demokrasi, rakyatlah yang berdaulat, artinya merekalah yang memiliki suatu kemauan (Rousseau; peletak teori kedaulatan rakyat). Kalau rakyatnya inginnya begitu ya begitu. Aktualisasi kehendak tersebut dapat dilihat dari kebebasannya dalam membuat hukum dan aturan yang diterapkan ditengah masyarakat. Rakyat dapat mengubah sistem ekonomi, politik, budaya, sosial, dan apapun yang sesuai dengan kehendaknya. Rakyat pula yang berhak untuk membuat undang-undang dan UUD sebagai wujud keinginannya. Jangan pernah berharap dalam demokrasi akan dikenal pertimbangan halal dan haram, yang ada adalah apakah itu mendatangkan mamfaat atau tidak. Walhasil, dalam demokrasi, rakyat yang dijadikan sebagai `Tuhan". Karenanya esensi dari demokrasi yang diakui sendiri oleh penganutnya yakni suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populi, Vox Dei). Untuk lebih menjernihkan lagi, maka perlu ditambahkan beberapa substansi mendasar dari demokrasi, diantaranya: Konsep pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam sistem demokrasi, kebenaran adalah yang didukung oleh suara terbanyak, baik secara mufakat atau voting. Makanya kebenaran itu akan senantiasa bersifat ambivalen tergantung kepentingan mana yang berpengaruh,padahal yang namanya kebenaran adalah jelas. Laut itu adalah asin dan tetap asin walaupun semua orang berteriak laut itu manis. Namun dalam demokrasi kemungkinan itu bisa terjadi lantaran pendukung bahwa laut
itu manis lebih mayoritas dikarenakan kebanyakan pemilih adalah orang gunung yang tidak mengenal laut. Meskipun suara itu diraih sebanyak 50 persen tambah 1 suara. Dari kelemahan ini, maka berkembangkanlah teori Machiavelli yang menghalalkan segala cara untuk meng-Goal-kan setiap aturan yang diinginkan. Menggunakan politik uang, politik belah bambu, manipulasi suara, bahkan sampai tindakan intimidasi adalah fenomena yang wajar dalam demokrasi. Pemikiran mendasar yang lain yaitu bentuk trias politica yang diperkenalkan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755), konsep ini membagi kekuasaan menjadi tiga yaitu kekuasaan legislatif yang membuat peraturan dan undang-undang, kekuasaan eksekutif yang melaksanakan, dan kekuasaan yudikatif yang berhak mengadili atas pelanggaran undang-undang. Kalau kita jeli melihat bahwa trias politica, terutama dalam kekuasaan legislatif itu lahir akibat kegagalan konsep awal dalam demokrasi untuk mewujudkan aspirasi seluruh rakyat dalam kekuasaan. Adanya kemustahilan untuk melahirkan suatu aturan yang merupakan representasi seluruh rakyat maka dibuatlah lembaga perwakilan yang diharap bisa mengakomodir suara rakyat. Sampel bisa dilihat di Indonesia yang memiliki penduduk lebih 220 juta hanya diwakili oleh sekitar 550 orang di lembaga legislatif. Siapa pun yang mau jujur, maka akan mengatakan bahwa demokrasi bukanlah pemerintahan rakyat, tetapi lebih tepat dikatakan pemerintahan rakyat minoritas. Mengutip apa yang dikatakan oleh Gatano Mosca, Clfrede Pareto, dan Robert Michels, cenderung melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani minoritas atas mayoritas. Demokrasi sebagai ide yang mengandung banyak kecacatan dan kerusakan didalamnya, tetapi bisa eksis bahkan senantiasa diperjuangkan lebih dikarenakan ide ini dipaksakan untuk diterima oleh pengusung demokrasi. Untuk menutupi kubusukannya maka demokrasi akan senantiasa melakukan reinkarnasi- reinkarnasi yang mengesankan bahwa ide ini bisa diterima kapan saja dan oleh siapa saja. Ketika demokrasi dibenturkan dengan sosialisme, maka muncullah gagasan keadilan sosial dan sosialisme negara yang merupakan mix idea yang justru melahirkan ketidak jelasan. Begitu pula untuk menarik umat Islam yang secara diametral bertentangan dengan demokrasi yang beraqidah kedaulatan justru ditangan Allah, maka lewat mulut orang Islam sendiri yang telah teracuni pemikirannya mengatakan bahwa Islam tidak berseberangan dengan demokrasi karena katanya dalam Islam pun mengakui demokrasi dengan adanya musyawarah. Sungguh sangat disayangkan ketika ada umat Islam yang menerima pendapat ini. Musyawarah memang dikenal dalam Islam, begitu pula kejujuran, keadilan, kasih sayang, toleransi, juga ada dalam Islam. Tetapi tentu itu bukan alasan kita mengatakan Islam itu sama dengan demokrasi, atau Islam itu sama dengan agama lain dan ajaran-ajaran yang menawarkan konsep humanis serta moralitas. Sebagaimana kita tidak mau dikatakan sama dengan monyet hanya dikarenakan kita sama-sama punya mata, hidung, telinga, ataukah suka makan pisang. Namun, justru adanya kecenderungan inkonsisten dan ambivalensi seperti ini menjadi bukti kegagalan demokrasi dalam mengatur manusia. Ketika demokrasi selalu ditampilkan dengan wajah keadilan, lalu mengapa penolakan sebagian besar masyarakat terhadap kenaikan BBM yang terbukti sangat tidak logis justru tidak mau digubris demi menyenangkan para kapitalis-kapitalis haus darah? Begitu pula ketika Demokrasi mengusung kebebasan, lalu mengapa ruang gerak kaum muslim untuk menjalankan ibadahnya secara total selalu dibatasi. Karakter yang harus dimunculkan oleh suatu konsepsi yang akan mengatur kehidupan adalah karakter ketegasan dan adanya kemampuan dalam menjawab perkembangan zaman. Sebuah konsep yang benar harus terlahir dari pemaknaan atas manusia dan kehidupan yang telah dirumuskan untuk selamanya. Tidak bersifat temporer dan pragmatis hingga membuat kita sakit kepala karena mudah terombang ambing. Hal ini tidak kemudian didapatkan dalam demokrasi yang senatiasa mengalami metamorfosa (perubahan). Bahkan saat ini demokrasi hanya dijadikan sebagai alasan yang cantik bagi negara-negara besar (red:Amerika) . Dengan slogan atas nama demokratisasi, mereka melakukan penjajahan kepada negara-negara yang bisa menghambat kepentingannya. Bagaimana Amerika dengan seenaknya menyerang Afganistan dan Iraq yang telah memakan ratusan ribu korban. Belum lagi kasus penyiksaan yang sangat biadab terhadap tawanan Irak. Begitu pula saat kita menengok kedalam negeri dedengkot demokrasi tersebut, maka akan ditemukan adannya perlakuan diskriminasi terhadap rakyat yang berkulit hitam, tingkat kriminalitas yang sangat tinggi (red: bisa dilihat saat terjadi bencana Katrina), kesenjangan sosial yang sangat tinggi (tidak seindah yang sering diberitakan) . Tidak berbeda dinegara-negara pengusung demokrasi yang lain seperti di Eropa, bagaimana ruang untuk beragama bagi penduduk Islam disana menjadi sempit karena pelarangan memakai jilbab seperti di Franci dan beberapa negara Eropa lainnya. Dibolehkannya kehidupan abnormal, Guy dan Lesbian yang justru dalam dunia binatang tidak kita dapatkan. Penegakan hukum yang jauh dari keadilan, Atas nama demokrasi Palestina yang hanya membela diri disebut teroris, sementara Israel yang terus menerus menggempur Palestina dinamai "membela hak". Lantas dari catatan-catatan tadi, apa yang kita harap dari demokrasi…? Jangan sampai cita-cita menuju masyarakat demokrasi yang senantiasa diagungkan adalah cita-cita kosong dan membual dikarena merupakan ide utopis yang tidak akan pernah terwujud. Marilah kita jujur untuk menilai!!!
Sepertinya kita lupa bahwa yang paling mengetahui apa yang terbaik untuk manusia dan kehidupan ini adalah zat yang telah berkuasa menciptakan segala sesuatu. Bukan diserahkan pada akal manusia yang terbatas dan hawa nafsu yang kadang tak terkendali. Kehidupan alam semesta dan manusia telah digariskan sebuah aturan yang ketika keluar dari rel yang ada maka akan menimbulkan kekacauan. Aturan itu tidak lain adalah yang disampaikan lewat wahyu dari Tuhan yang terangkum dalam ajaran agama, yang mengalami kesempurnaan setelah datangnya Islam. Saatnya bagi kita untuk mengembalikan peran agama sebagai pengatur kehidupan,bukan doktrin gereja dimasa kegelapan eropa yang hampa akan aturan, tetapi dengan Islam yang paripurna yang menjanjikan cahaya kebenaran.

Rekonstruksi Paradigma Gerakan Mahasiswa. (SALMAN AL-FARISI)
Siapapun dia tidak bisa memungkiri, bahwa gerakan mahasiswa memiliki peranan yang cukup berarti dalam perjalanan bangsa ini. Berbagai macam momen dan peristiwa yang terjadi senantiasa menghadirkan sosok mahasiswa sebagai bagian dari unsur terpenting. Siapapun dia tidak bisa memungkiri, bahwa gerakan mahasiswa memiliki peranan yang cukup berarti dalam perjalanan bangsa ini. Berbagai macam momen dan peristiwa yang terjadi senantiasa menghadirkan sosok mahasiswa sebagai bagian dari unsur terpenting. Setumpuk predikat filosofis pun dikalungkan buat mahasiswa; mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change), kontrol sosial (social control), kekuatan moral (moral force), cadangan potensial (iron stock), dan sebagainya walaupun akhirnya seiring dengan semakin terkikisnya vitalitas mahasiswa, akhirnya predikat itu menjadi ungkapan romantisme belaka. Pertanyaan yang patut diajukan, mengapa gerakan kaum intelektual ini seolah belum menemukan pola baku dalam melawan segala tirani dan ketidakadilan para penguasa, yang semakin hari semakin tidak lagi memihak kepada rakyat yang sebagian besar umat Islam ? Kaitannya dengan demokrasi, memang kita akan melihat bahwa mahasiswa adalah bagian dari komponen yang telah terbodohkan dengan demokrasi. Mereka hampir sepakat bahwa demokrasi adalah ide yang baik untuk diambil hingga akhirnya menjadi nilai – nilai yang mewarnai perjuangannya. Setidaknya mahasiswa masih akan berkilah jika diperhadapkan dengan keburukan dan kegagalan demokrasi, bahwa bangsa Indonesia memang masih pada tahap belajar berdemokrasi atau transisi demokrasi. Padahal negara demokrasi sendiri hanya ada dalam komik-komik yang dikarang oleh tokoh-tokoh Barat dan para Islamofhobia. Kemudian mahasiswa (termasuk mahasiswa muslim) ikut-ikutan latah seperti apa yang dikatakan mereka. Akibatnya gerakan mahasiswa tidak lagi memiliki orientasi yang sejalan dengan ide-ide Islam sebagai ide terbaik yang seharusnya menjadi Value of objektif bagi pergerakan mereka. Ironis Memang !!!!!
Kawan-kawan mahasiswa, mari kita saksikan bahwa terdapat beberapa hal yang menjadi faktor kerancuan dari gerakan mahasiswa saat ini yang sekaligus sebenarnya menjadi faktor dari berbagai macam kegagalan–kegagalan pencapaian usaha mahasiswa.
1. Ide yang Tidak Jelas.
Pengadopsian sebuah ide atau pemikiran gerakan menjadi unsur yang penting bagi gerakan mahasiswa sebagai nilai perjuangan nantinya. Ide atau pemikiran itu haruslah ide dan pemikiran yang benar dan jelas. Dalam artian telah melalui proses studi kelayakan dan disimpulkan apakah baik untuk diadopsi. Ternyata prinsip ini dilupakan oleh gerakan mahasiswa selama ini. Mahasiswa tidak mampu menampilkan diri sebagai insan yang cerdas, lebih bersifat emosional tapi non konseptual. Banyak bermain pada wilayah kritik auto kritik tapi kering akan solusi. Ketika Barat menyerukan demokratisasi, mahasiswa pun menyerukan hal yang sama. Ketika Barat menyerukan pluralisme, mahasiswa pun latah dengan apa yang dikatakan pihak Barat. Yang lebih disayangkan ketika gerakan mahasiswa justru menjadi pelanggeng sistem status quo yang jelas – jelas telah busuk dan tidak layak dipelihara. Lagi – lagi karena mahasiswa tidak memiliki pemikiran dan konsep yang jelas.
2. Tidak Menyentuh Akar Permasalahan.
Karena tidak lagi didasari sebuah ide dasar yang jernih dan sahih. Maka tidak dapat lagi melihat dengan jeli apa sebenarnya akar permasalahan yang terdapat di negeri-negeri kaum muslimin termasuk di Indonesia. Karena alasan seperti itu mengakibatkan solusi yang disodorkan oleh gerakan mahasiswa tidak pernah menyelesaikan permasalahan dengan tuntas. Malah solusi yang ditawarkan oleh mereka tidak lebih dari sebuah upaya yang mempercantik rongsokan `mobil' yang berkarat. Misalnya menyelesaikan permasalahan BHMN/BHP, tidak mungkin hanya sebatas berteriak-teriak `tolak BHMN/BHP'. Begitu pula permasalahan kebobrokan ekonomi tidak hanya sebatas tolak privatisasi atau turunkan harga kebutuhan pokok. Ataupun melihat ketidakadilan tidak mungkin kita hanya menyerukan tegakan keadilan dan bersihkan aparat pemerintah dari KKN. Semua itu terjadi akibat hegemoni system Kapitalis-Sekuler yang diterapkan pada kita. Buanglah itu semua, karena ide-ide itu masih umum dan tidak menyentuh akar permasalahan yang ada. Padahal asas kehidupan di negeri ini jelas-jelas berdiri diatas sekulerisme. Tapi mengapa kita takut mengatakan bahwa system sekarang sudah bertolak belakang dengan Islam. Mengapa kita takut mengatakan bahwa hanya satu aturan Islamlah yang benar. Bukankah kita semua tahu sendiri bahwa kebobrokan kehidupan saat ini karena tidak diterapkannya system Islam secara Kaffah. Malah kita terjebak dalam roda pergerakan system Kapitalis saat ini, bukankah Allah telah mengingatkan kita "Siapa saja yang berpaling dari dzikri (kitab-Ku),maka baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya di pada hari Kiamat dalam keadaan buta." (QS. Thaha [20]:124).
3. Metode Gerakan yang Reformatif.
Dikarenakan sebagian gerakan mahasiswa tidak melihat akar permasalahan dengan jeli, ini mengakibatkan desakan-desakan yang dilancarkan tidak lagi bersifat solutif. Metode mereka lebih bersifat tambal sulam (reformasi) atas sistem saat ini. Bukannya akan memperbaiki kondisi tapi akan semakin rusaklah kondisi kehidupan umat yang selama ini terpuruk oleh system Kapitalis sekarang. Katakanlah pada semua. Logika Darimana perjuangan kita harus reformatif (ishlahi) padahal asas kehidupan masyarakat kita adalah sekuler. Kecuali bila dalam kehidupan kita telah tegak sistem Islam. Seharusnya saat ini kita bongkar asas itu dan kita gantikan dengan Islam. Perubahan yang harus kita lakukan adalah perubahan mendasar (Taghyir) dan menyeluruh. Karena dasarnya saja sudah salah apalagi cabang-cabangnya. Bila kita masih saja menyerukan seruan-seruan yang hanya sebatas tegakan supremasi hukum, berantas KKN, tegakan keadilan, turunkan harga kebutuhan pokok, tolak BHMN, dsb. Tanpa membongkar asas kehidupannya yang sesat, sama saja kita mengakui diterapkannya system sekulerisme.
4. Pragmatis.
Idealisme sebagian gerakan mahasiswa tidak lagi muncul dalam pemikiran-pemikiran nya. Idealisme itu seolah tenggelam ditengah kegalauan kehidupan ini. Berbenturan dengan kebutuhan perut, berbenturan dengan ketidakpercayaan diri dalam menghadapi arogansi Barat ataupun berbenturan dengan mayoritas suara yang menyesatkan. Sehingga bukannya melurusakan segala fenomena yang rusak yang bertentangan dengan aturan-aturan Islam, malah mencari-cari dalil demi jastifikasi realitas yang ada. Sekali lagi, bukannya terjadi perubahan yang Islami malah akan semakin eksisnya system sekuler sekarang. Ingatlah bahwa realitas tidak bisa kita jadikan dalil dalam menetapkan hukum melainkan objek yang harus dihukumi. Karena kita tidak bisa katakan bahwa riba itu halal dikarenakan masyarakat telah terlanjur banyak menerapkannya. Justru Islamlah yang seharusnya menjadi standar hidup bagi realitas umat ini. Allah Swt. berfirman "Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran supaya kamu mengadili (menghukumi) manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu" (QS. An-Nisa' [4]: 105).
5. Tidak Ideologis.
Ideologi merupakan pandangan hidup yang menyeluruh yang akan menelurkan sebuah sistem bagi kehidupan manusia. Inilah simpul dari semua kerancuan gerakan mahasiswa muslim saat ini. Gerakan-gerakan mereka tidak dilandasi sebuah ideologi Islam yang jelas. Sehingga dapat kita saksikan, ide-ide yang diusung oleh sebagian gerakan mahasiswa lebih bersifat serabutan, dengan mencampurkan Ide-ide sekuler dan Islam. Akibatnya arah perjuangan merekapun tidak menentu. Konsep-konsep perubahan dan kebangkitan pun lebih banyak mengekor pada konsep-konsep Barat. Karena pemikiran mereka tidak lagi berhubungan dengan lingkungan, kepribadian, dan sejarah kaum muslimin, serta tidak lagi bersandar pada ideologi kita yaitu Islam. Oleh karena itu, kita yang karena telah terdidik seperti itu menjadi suatu kelompok asing ditengah-tengah umat, yang tidak lagi memahami keadaan kita dan hakikat kebutuhan umat Islam.
Khatimah
Ketahuilah kawan-kawan mahasiswa, kita semua akan menjadi saksi kehancuran dari negeri ini bila kita biarkan sistem yang bobrok ini. Tidak cukup kita hanya menyerukan isu-isu yang parsial, melainkan harus menyentuh akar permasalahannya yaitu ganti sistem ini dengan sistem yang baru yakni Islam (baca : khilafah). Sesungguhnya menjadikan demokrasi sebagai cita – cita dan standar perjuangan adalah kekeliruan besar mahasiswa / lembaga/ gerakan mahasiswa dan akan selamanya menjadi faktor kegagalan demi kegagalan yang kita dapatkan. Khusus untuk rekan – rekan mahasiswa muslim, Islam tidak bisa dikompromikan dengan ide-ide yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam (baca : Demokrasi). Islam adalah ideologi kita yang mampu memberikan solusi pada semua permasalahan umat manusia. Ke depan, gelombang perubahan dan benturan ideologi akan semakin terasa, Islam akan menantang dan meruntuhkan Kapitalisme- Sekuler dan Sosialisme-Komunis. Tinggal kita serukan kepada kawan-kawan mahasiswa, apakah anda akan berada dibalik perjuangan kapitalis dan sosialis atau dibalik perjuangan Islam ? Sangat disayangkan jika ada yang salah pilih tapi lebih disayangkan lagi jika ada yang tidak memilih apa–apa selain hanya diam dan bungkam.
Wallahu A'lam Bishowab